26

83 15 0
                                    

Ditulis oleh kak rryanti_Ludith

Ketika lelah sudah mendera
Tak ada salahnya kau memberi jeda
Beri sedikit masa
Untuk jiwa yang mulai nelangsa

*****

Adrian menyadari, bahwa batas waktu penangguhan pelimpahan kasus Alan Pramoedya sudah hampir selesai. Namun, ia masih belum bisa merampungkan semua hasil penyelidikannya. Terlalu banyak hal yang menjadi batu sandungan, kini Suhendi juga menjadi salah korban dalam peliknya kasus ini. Membuat waktu menjadi sangat berarti bagi Adrian. Tak bisa dihitung sudah berapa lama penyidik muda itu tak memiliki waktu istirahat yang cukup.

Adrian sampai di rumah sakit tiga puluh menit setelah meninggalkan ruang rapat. Ia berinisiatif untuk mengatur penjagaan untuk Suhendi selama masa perawatan.

Tak banyak interaksi yang terjadi antara Adrian dan penyidik yang tengah terbaring itu. Hanya satu permintaan yang terucap dari mulut Suhendi, "Akhirnya aku bisa beristirahat," kelakar pria yang terbaring itu. Terlihat kedua tangannya terbalut perban putih dengan gips di kedua sisinya. Kakinya tak lepas dari pemandangan serupa. Sakit yang seharusnya membuatnya membungkam mulut seakan tak ada artinya.
Adrian hanya tersenyum mendengar ocehan rekannya itu.

"Bagaimana, sudah baikan?"

"Sebenarnya aku sudah bisa pulang dan bermain bola, tapi untuk apa aku menyia-nyiakan kesempatan beristirahat seperti ini. Bukan?" Suhendi sesekali meringis saat berbicara, karena alat bantu pernapasan yang terpasang sangat mengganggu.

"Baguslah, kalau begitu," ucap Adrian seakan tak peduli, bertolak belakang dengan beberapa waktu lalu. Saat ia begitu tergesa menuju rumah sakit setelah menerima kabar Suhendi sudah sadar.

"Aku hanya merindukan pemantikku, sepertinya asap rokok bisa merubah udara ruangan ini. Udara di sini sudah terkontaminasi dengan aroma disenfektan.

Sebaiknya kau pulang, aku ingin istirahat. Mandi dan tidurlah," Suhendi memejamkan mata saat mengucapkannya.

"Ya, ya, ya... nikmati istirahatmu. Aku juga bosan beberapa waktu ini harus keluar masuk rumah sakit. Bahkan aroma parfumku bias, begitu memasuki rumah sakit.

Aku pulang."

Adrian meninggalkan ruang rawat Suhendi, ia bergegas menuju meja perawat jaga. Ia menanyakan barang dan pakaian yang dikenakan oleh Suhendi saat terjadi kecelakaan.

Tak begitu lama mencari, akhirnya Adrian menemukan apa yang di maksud oleh Suhendi. USB yang bentuk dan bisa difungsikan sebagai pemantik. Benda itu adalah pemberian Adrian saat ia pulang dari pelatihan di Belanda, sebagai hadiah untuk Suhendi.

Pria berperawakan gagah itu melangkah dengan pasti, berharap apa yang di temukan oleh Suhendi bisa berguna untuk penyidikan mereka.
Ia tak kembali kekantor, melainkan menuju apartemennya.

Bagi Adrian sudah tak ada waktu lagi untuk berleha-leha. Batas waktu sudah hampir mencapai batas. Ia tak bisa membiarkan Alisha harus menanggung pertanggung jawaban atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan.

Mobil Adrian mencapai baseman apartemen, setelah memastikan mobil Fiat hitamnya telah terparkir dengan baik. Pria itu segera menuju lift, dan menekan tombol angka unit apartemen yang sudah ditinggalinya selama beberapa tahun belakangan ini.

Saat pintu lift terbuka di lantai yang dituju, dengan tergesa Adrian menuju unitnya. Setelah menekan kartu pada sensor, pintu terbuka. Tanpa melepaskan sepatu Adrian langsung menuju ruang kerjanya.

Segera ia menghidupkan PC komputer, proses loading yang biasa pun terasa sangat lama bagi Adrian. Setelah siap, segera ia menghubungkan pemantik USB yang berisi data dari Suhendi.

***

The Mercure restauran penuh dengan pengunjung, hampir semua meja telah terisi. Terlihat seorang wanita muda mengenakan blus berwarna biru malam dengan blazer putih memasuki pintu masuk, rambut hitam panjangnya yang dibiarkan tergerai lembut menambah kesan anggun. Setelah menyebutkan sesuatu kepada seorang pelayan, ia segera diantarkan menuju tempat yang sudah direncanakan.

Dengan tegas wanita itu memasuki ruangan khusus yang sudah dipesan sebelumnya. Saat pelayan membuka pintu dan mempersilahkannya untuk masuk, netra hitamnya seakan menarik masuk semua yang berusaha mendekatinya.

Ia menatap satu persatu orang-orang yang sudah berada di dalam ruangan itu. Sungguh tak disangka, ia bertemu dengan mereka yang tak ia bayangkan kehadirannya.

Dengan raut angkuh ia duduk pada kursi kosong yang tersedia dia antara Aliman dan seorang wanita yang ia kenal. Menyilangkan kaki jenjang nona muda Yustanagara menatap tajam pada wanita yang duduk tepat di seberangnya. Mengangkat gelas yang terisi air putih di hadapannya, Cherry menggoyang-goyangkan gelas tatapan tajam yang ia tunjukkan tak sedikit pun beralih. Merasa objek pandangannya terlihat jengah Cherry kemudian tersenyum sinis. Semakin mengintimidasi lawannya.
"Well... well.... Nona Anggun Larasita, tamu kehormatan kita malam ini. Artis sukses masa kini, " Cherry menuangkan air di gelasnya perlahan keatas meja, "Oups.... Seharusnya kita bersulang untuk menyambut tamu istimewa ini, bukan begitu Papa?" Nona besar itu mulai mengalihkan atensi pada taipan tua yang merupakan ayah kandungnya.

Dengan gaya anggun Cherry mengambil garpu yang berada di atas meja lalu mengetuk-ngetukkan beberapa kali pada gelasnya yang telah kosong. Terdengar dentingan beberapa kali, seorang pelayan hadir merespon kode panggilan untuk melayani. Setelah membungkukkan badan, pelayan itu menunggu perintah dari nona muda.
"Tolong sediakan anggur paling mahal yang disediakan restoran ini, terima kasih." Ucap Cherry dengan senyum yang terlalu manis.
Setelah mendengarkan permintaan dari pelanggan dan menyanggupinya, pelayan itu meninggalkan ruangan. Menyisakan orang-orang yang terlihat tegang di dalam ruangan.
Aliman yang sejak awal hanya berdiam diri akhirnya membuka suara. Mengambil alih perhatian dari semua yang ada di dalam ruangan. Cherry Menyandarkan tubuhnya, malas.
Seolah sudah paham dengan tabiat putri semata wayangnya, Aliman berusaha untuk tidak terpancing dengan ulah Cherry.
"Ayolah, hentikan sikap kekanakan itu, Cher. Saat ini kita berkumpul untuk menikmati makan malam, bukan saling melempar sapaan tak berguna, Sayang. Bagaimana pekerjaanmu dikantor, tak ada masalah, bukan?" tetap tak ada respon dari yang ditanya.

Anggun memasang senyum semanis mungkin, menunggu sapaan. Namun, sebelum dapat mencuri perhatian dari Aliman. Aksi Anggun diinterupsi oleh perkataan Cherry yang membuat suasana menjadi tegang.

"Ayolah, Papa, hentikan permainan ini. Tak perlu berakting seakan semuanya baik-baik saja. Aku muak melihat wajah-wajah para penjilat di ruangan ini. Papa seharusnya tahu kalau semuanya, pal-su," ucap Cherry dengan muka dibuat sesinis mungkin, sambil menatap Anggun dan Lena bergantian. Ia mencoba memprovokasi kedua wanita itu.

"Apalagi wanita sundal ini," Cherry menunjuk tepat di wajah Anggun yang seketika memerah karena rasa tersinggung.

"Wanita yang dengan tidak tahu malu, merayu lelaki tua yang pasti seusia ayahnya sendiri. Memalukan!" Cherry menaikkan suaranya.

Anggun berdiri ingin melawan, Lena menahannya agar menahan emosi. Sebenarnya, bahkan Lena pun sudah merasa jengah atas perlakuan Cherry. Namun, demi menjaga agar suasana tetap terjaga Lena berusaha menekan dalam emosinya.

Cherry kembali berucap untuk menyakiti Anggun dengan perkataannya, "Katakan, berapa banyak yang kamu dapatkan dari menjual diri kepada Tuan Aliman yang terhormat, hah!?"

Anggun tak mampu menahan emosinya, make up tebal yang menutupi wajahnya tak mampu menutupi merah wajahnya. Akhirnya, air putih yang berada di depannya berhasil ia siramkan kepada Cherry.

"Dasar tidak tahu diri, kalau bukan karena aku. Kamu pasti sudah memakai baju tahanan." balas Anggun demi memuaskan hatinya.

Cherry mengumpat dan berusaha membalas Anggun. Hampir saja gelas kosong yang ada di depannya ia lemparkan.

"Cukup!" Aliman menggebrak meja, membuat Cherry dan Anggun terdiam.

Tanpa mereka ketahui, semua yang mereka perdebatan telah terekam dengan jelas.
*****



CIRCLE OF LOVE Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon