23

72 12 0
                                    

Cinta pertama seorang anak perempuan adalah, ayahnya.

Bukankah begitu?
***

"Ayah." Alisha tidak percaya yang mengunjunginya kali ini adalah Gusta Pratama, sang ayah terkasih.

Sudah berselang tahun, keduanya saling terpasung oleh ego masing-masing. Tak ada yang mau mengalah. Tak pula ada yang kalah. Ibarat saling beradu keduanya adalah pedang yang saling menikam.

Alisha yang jauh dari sang ayah. Sang ayah yang jauh dari anaknya. Begitulah keduanya. Seperti mimpi, tiba-tiba kini di depan mata. Hadir dengan satu tujuan, mengunjungi putri tersayangnya.

Laki-laki baya itu berjalan mendekati ranjang pasien tempat si sulung berbaring. Alisha berusaha duduk melihat ayahnya mendekat. Sorot matanya berbinar masih tidak mempercayai kehadiran sang ayah. Ia pikir ini mimpi di siang bolong. Alisha ingin sekali mencubit pipiny untuk memastikan matanya benar-benar melihat sang ayah, bukan hanya mimpi belaka.

Gusta tersenyum meski raut wajah iba menghiasi air mukanya. Ia berusaha menutupi rasa kasihan pada putrinya meski ia sungguh tak tega melihat keadaan dan kondisi Alisha saat ini.

"Maafkan Icha, Ayah ..." lirih Alisha sembari menubruk tangan sang ayah.

Gusta menahan air matanya, tapi gagal. Bulir bening itu menetes perlahan ke pipi. Mata tuanya sudah tak bisa lagi menahan keangkuhan egonya. Hatinya berkecamuk tak karuan. Sang putri membuat remuk redam rasa di seluruh sanubari. Ia membelai lembut rambut sang putri.

Alisha masih tergugu. Air matanya tumpah sudah. Segala penyesalan merasuk tak tentu ke semua penjuru ruang di hatinya. Kesalahan demi kesalahan bak terkuak satu per satu, sesal ia peroleh di akhir. Untung saja sang ayah datang dengan cinta. Menghapus segala poison yang pernah ia torehkan.

"Maafkan Icha, Ayah." Lagi-lagi Alisha terisak.

"Sudah-sudah," ucap Gusta sembari menepuk bahu anaknya.

"Saya permisi dulu," sela Bimo memberi ruang untuk anak dan ayah yang lama tidak berjumpa itu.

Gusta mempersilakan Bimo keluar ruangan. Ia lantas menatap anak sulungnya. Wajah yang lama tidak ia jumpai, wajah yang persis wajah mendiang sang istri. Paras rupawan dengan perpaduan hidung tinggi dan mata bulat.

Tangan Gusta membelai lembut rambut sang putri. "Kamu sudah dewasa," ucap Gusta dengan tatapan tulus. "Jangan menangis, kamu pasti bisa melewati cobaan ini." Lagi-lagi Gusta menepuk bahu anak sulungnya itu.

"Iya, Ayah, Icha ngerti, Icha coba sabar," jawab Alisha sembari berusaha tersenyum.

"Yang kuat, karena yang kuat itulah pemenangnya." Gusta memberi nasihat pada Alisha. Ia juga memberi tahu Alisha supaya menjaga kesehatannya termasuk bayi dalam kandungannya itu. Gusta akan pastikan untuk merawat Alisha dan sang bayi hingga tumbuh dengan baik.

"Terima kasih, Ayah. Ayah bahkan tidak melepas Icha saat keadaan seperti ini." Alisha benar-benar bersyukur. "Padahal, kerjaan Alisha cuma mempermalukan Ayah." Alisha menyesali kejadian yang sudah lampau.

Gusta menggeleng, "Ayah yang terlalu keras mendidikmu, hingga kamu memberontak seperti ini. Maafkan Ayah," ucap Gusta pelan.

"Tidak, Ayah. Icha yang salah." Keduanya saling berpelukan satu sama lain. Pelukan yang lama sekali hilang, pelukan hangat dari seorang ayah untuk putri tercintanya juga dari seorang anak yang rindu ayahnya.

Tiga puluh menit berlalu tanpa diduga. Gusta pamit undur diri untuk kembali ke rumah. Ia menepuk bahu Bimo sebelum pergi. Memintanya untuk menjaga Alisha. Gusta bahkan mengucapkan terima kasih pada Bimo karena selama ini sudah menemani Alisha, baik di masa suka maupun duka.

Bimo mengangguk melepas kepergian pria baya itu. Ia kembali masuk ke ruang perawatan Alisha. Melihat Alisha yang terlelap. Bimo tersenyum, wajah Alisha kini berbinar, tak kusut seperti sebelumnya. Paling tidak, kehadiran sang ayah telah menghadirkan motivasi tersendiri untuk Alisha Rose Pratama dalam menghadapi masa-masa sulitnya.

Bimo menghubungi Adrian, ia bilang akan ke sini. Bimo baru akan pulang setelah Adrian tiba di kamar Alisha. Meskipun,  yang dinanti belum juga muncul.

"Adrian, ke mana, kenapa lama?" batin Bimo seraya memandangi arloji yang melingkar di tangannya.

Tepat saat itu pintu kamar terbuka, sosok Lena muncul. Bimo sedikit terkejut.

"Sersan Lena," lirih Bimo.

"Ssstt ... Biarkan Alisha tidur, bagaimana keadaannya?" Lena menanyakan.

"Sudah sedikit membaik, ayahnya barusan berkunjung," ucap Bimo memberitahu.

Lena mengangguk-angguk. "Adrian mana? Aku tak melihatnya di kantor, aku kira dia ke mari."

"Oh, Adrian sedang menyelidiki seseorang yang ia curigai dari Allow Management." Dengan polos Bimo memberi tahu.

"Oh iya, aku lupa. Dia sudah memberitahuku soal ini. Siapa yang ia curigai?" tanya Lena mengorek informasi.

"Anggun Larasita," jawab Bimo tanpa ragu. Bimo bahkan mengatakan kalau Adrian sedang berada di acara jumpa fans dengan gadis itu.

Lena tersenyum puas dan pamit dari ruangan Alisha. Sementara Bimo tidak mencurigai apa pun.

"Kamu di mana?" tanya Bimo di telepon.

"Masih di restorant Hotel Megalodon, ada apa? Apa Alisha baik-baik saja?" tanya Adrian dari seberang telepon.

"Dia tidur nyenyak, barusan Lena mencarimu, apakah ada meeting?"

"Lena?" Adrian mengeryitkan dahi.

"Iya, aku bilang kamu lagi di jumpa fans Aggun Larasita," terang Bimo menceritakan perihal kedatangan Lena.

Adrian mengangguk menyadari sesuatu. "Pantas Anggun membatalkan janji untuk bertemu dengannya," gumam Adrian.

"Ada apa Adrian? Apa aku salah?" tanya Bimo bingung.

"Tidak, justru kamu sangat membantu." Adrian berterima kasih pada Bimo.

Adrian menemukan benang kusut di otaknya yang kini mulai terurai. Jawaban demi jawaban mulai menemukan titik terang. Adrian sudah merasa hal ini akan terjadi, sebuah pengkhiabatan.

"Pantas, saat bukti ditemukan pada diri Alisha, segalanya seakan dipercepat. Demi menyembunyikan sosok di balik semua ini," batin Adrian saat duduk di restoran VIP hotel Megalodon.  Ia menyesap Arabika di gelasnya. Mengehal napas menemukan jawaban. Hanya, bagaimana caranya mengungkapkan ini semua?

***





CIRCLE OF LOVE Where stories live. Discover now