29

85 13 0
                                    

Sibak tabir terbuka
Ia tertangkap basa
Bermain api di balik panggung
***

Rapat internal tim penyidik kali ini menyudutkan sang ketua tim. Keadaan cukup gaduh lantaran Lena membentak-bentak tak jelas. Berkali-kali ia memaki Adrian yang dengan mudah mendapat semua bukti rekaman pembicaraannya dengan Aliman Yustanagara.

"Sialan kamu! Dapat dari mana semua itu!" Lena masih berseru saat tim provos datang untuk mengamankannya. Lena akan diadili karena pengkhianatannya terhadap sumpah jabatan seorang penyidik.

Adrian menunduk lega setelah Lena dibawa petugas. Ia sama sekali tak menhanhka Lena terlibat, meski nyatanya memang begitu.

"Kita akan mengurus sisanya, kamu bisa beristirahat," ujar anggota tim lain setelah membagi tugas pemanggilan dan investigasi terhadap Aliman, Cherry, dan Anggun Larasita.

Adrian berterima kasih, ia pun hendak kembali ke rumah setelah semalaman begadang demi terselesaikannya ratusan pertanyaan di otaknya. Adrian mengarahkan kemudi ke rumah. Selain istirahat, Adrian juga ingin bertemu sang ayah.

Roda-roda mobil itu melaju di jalanan kota. Angin malam berembus pelan. Remang lampu-lampu kota menerangi. Satu per satu janji harus dipenuhi.

Biiiip

Klaksonnya berbunyi saat di depan pagar. Matahari sudah setinggi galah. Petugas keamanan di rumah besar itu membukakan pintu. Mobil Adrian merangkak pelan memasuki pekarangan rumah berlantai tiga.

Sunyi, rumah itu memang selalu sunyi. Meski entah kapan Adrian yakin rumah ini akan kembali dihiasi tawa anak-anak.

"Apakah ada kabar yang baik?" Gusta menyambut kedatangan putra bungsunya.

Adrian tersenyum dan memeluk sang ayah. "Terima kasih, Ayah. Semua berkat doa Ayah." Adrian melepas pelukannya dan tersenyum menatap mata tua di depannya.

Gusta tersenyum bukan hanya karena kabar yang sudah ia dengar dari sang putra. Ia tersenyum karena anaknya kini telah menjadi sehangat matahari pagi. Mungkin kedewasaan perlahan memasuki hati Adrian. Gusta pun sudah lelah mendoktrin sang putra dengan supaya sejalan dengan pikirannya. Toh sang putra memiliki pilihan hidupnya sendiri.

"Kamu sudah bekerja keras, ayah percaya." Gusta menepuk bahu sang putra. Keduanya berjalan beriringan untuk menikmati sarapan pagi bersama.

"Apakah keadaan Alisha sudah membaik?" tanya Gusta di sela santapan pagi mereka.

"Ian belum mengunjungi Icha, tapi Bimo sudah memberi kabar kalau keadaannya sudah baik. Dia sedang berusaha membujuk Alisha pulang ke rumah, Ian cukup khawatir pada kesehatan mental Icha yang tertekan. Dia sudah mebgalami banyak hal buruk." Adrian menjelaskan panjang lebar mengenai kabar sang kakak.

"Ya-ya," gumam Gusta mengangguk. "Anak itu memang keras kepala, harus keinginannya sendiri jika dia mau pulang ke mari," lanjut Gusta. "Lalu bagaimana dengan pusat perbelanjaan ayah? Kamu masih enggan mengelolanya?" Gusta mengalihkan pembicaraan ke arah lain. Adrian tersenyum kecut mendengar pertanyaan sang ayah.

"Ian sudah memiliki pekerjaan, ayah." Adrian menjawab seperti biasanya. "Ian takut tidak fokus, biarkan saja berjalan seperti biasanya."

Gusta tersenyum pasrah, sang putra memang tidak tertarik sedikit pun dengan bisnis. Ia lebih suka hidupnya dilengkapi dengan tugas-tugas penyelidikan demi mencari kebenaran.

"Kamu beristirahatlah dulu, pasti lelah semalaman bekerja," pinta Gusta dan ia masuk ke ruangan belakang. Memandangi pepohonan dintaman belakang rumahnya yang sudah seperti hutan kecil buatan.

Adrian mengikuti sang ayah. "Ayah mau bermain golf?" ajak Adrian.

Gusta tersenyum dan mengangguk. Dipanggilnya sang asisten untuk menyiapkan peralatan golf. Keduanya bermain golf di lapangan golf sederhana di pekarangan belakang.

Indahnya perpaduan ayah dan anak itu. Kembali hangat dengan cinta. Yang lama sekali sedingin kutub. Cinta itu tak akan hilang, cinta sang ayah terhadap anaknya.

***

Alisha bersyukur berkali-kali mendengar seorang polisi menyatakan status tersangkanya sudah dicabut.

"Dengan ini, kami menyatakan saudara Alisha Rose Pratama, tidak lagi berstatus tersangka karena semua bukti yang mengarah kepadanya tidak membuktikan saudara Alisha melakukan tindakan kriminal terhadap korban."

Alisha memejamkan mata penuh syukur. Ia yakin, kepolisian akan bertindak dengan benar dan jujur dalam menangani kasus ini. Alisha memang mengakui kalau ia bertemu dengan Alan Pramoedya di ruang VIP Pod Cafe, ia juga mengaku kalau sangat membenci Alan, terutama setelah Alan menolak bertanggung jawab atas anak di dalam kandungan Alisha. Belum lagi kata-kata kasar yang Alan umpatkan ke Alisha. Marah, tentu. Tapi, ia bukanlah pembunuh. Alisha hanya membawa kepedihannya pergi. Dan saat itu lah seseorang masuk untuk menghabisi nyawa sang casanova.

"Tuhan maha baik," ucap Bimo seraya menepuk bahu Alisha.

Alisha mengangguk meski butiran bening masih menggenang di pelupuk mata. "Gue akan pulang, Bim. Gue akan berhenti dari dunia keartisan, gue akan kembali ke rumah," lirih Alisha.

Bimo tersenyum mendengarnya. "Itu pilihan lo, Cha. Gue yakin lo bisa."

"Tapi, maafkan gue Bim, elo sudah bantuin gue selama ini." Alisha menarik napas perlahan.

"Kenapa minta maaf? Lo mau mecat gue sebagai menejer lo?" Bimo mengangkat kedua alisnya.

Alisha tertawa mendengar ucapan Bimo yang mengandung maksud dari dasar hatinya itu. "Malahan gue mau tanya, elo mau jadi sekretaris pribadi gue?" ucap Alisha seraya tersenyum menatap lelaki yang sudah bertahun-tahun menemaninya itu.

"Iya Cha, gue mau!" Bimo bersorak kegirangan.

Langit cerah tampaknya. Tiada lagi awan mendung yang menutupi sinar cerah sang surya.
***

Senja merona merah, baru saja Adrian hendak menjemput Alisha pulang tiba-tiba dering ponsel mengejutkannya.

"Halo?" sapa Adrian menerima panggilan dari salah satu rekannya.

"Cherry, keberadaannya tidak ditemukan." Suara dari seberang terdengar. "Keluarganya bungkam."

Adrian menghela napas. "Baik, aku cari dia!" Adrian segera bertindak. Ia urung mengunjungi Alisha.

Adrian menekan tombol di handphonenya. "Bim, aku nggak jadi ke rumah sakit, ada urusan mendadak."

"Oke nggak apa-apa, Icha sama gue," jawab Bimo mantap.

Adrian melajukan mobilnya mencari Cherry. Di mana dia? Harus bertemu, harus. "Please, Cher jangan memperkeruh masalah. Kembalilah!" batin Adrian.

Senja sore ini merah saga. Adrian mencari Cherry. Ia berharap Cherry tidak melakukan hal-hal buruk. Semua menduga Cherry akan terbang ke luar negeri. Mereka berpencar mencari Cherry ke bandara.

"Cherry, please, jangan hilang," batin Adrian sembari menginjakkan pedal gasnya. Mobil pun melaju menjemput waktu petang.

***

CIRCLE OF LOVE Where stories live. Discover now