31

94 12 0
                                    

Perintah Aliman Yustanagara ternyata tidak diindahkan oleh sang putri semata wayangnya. Bukannya ke Amerika sesuai permintaan sang ayah, Cherry malah menghilang entah ke mana.

"Apa kerjamu sampai Cherry hilang?" bentak Aliman saat sang sopir mengabarkan kalau ia telah kehilangan sang nona muda.

"M-maaf, Tuan." Sopir itu terdengar ketakutan. Meski ia akhirnya dengan terbata menceritakan kronologis menghilangnya Cherry dari perhatiannya.

"Kami sudah sampai bandara, Tuan. Setelah itu non Cherry tiba-tiba tidak bisa saya temukan," ucap sang sopir terbata.

Aliman menutup teleponnya dengan murka. Ia segera menelepon orang suruhannya untuk menemukan Cherry sebelum penyidik kepolisian menemukan dia.

"Ke mana Cherry?" Aliman berseru setelah Aliman memasuki rumahnya. Ia menduga Cherry kembali lantaran ingin bersama sang ibu. Aliman menelusuri ke semua tempat di rumah mewahnya. Satu per satu asisten rumah tangga terkena amukan Aliman. "Kenapa gadis itu benar-benar bodoh?" Aliman terus mengumpat.

Jemarinya juga tak kalah cepat menghubungi orang-orang suruhannya satu per satu.

"Halo!" Aliman berseru setelah seseorang yang ia hubungi menerima panggilan teleponnya.

"Apa lagi? Aku sedang bermasalah dengan profesiku gara-gara kamu!" Suara Lena terdengar sangat kesal. "Anggun mau diajak kerja sama Adrian, selingkuhanmu itu benar-benar pengkhianat!" Lena mengumpat.

"Ini lebih bahaya! Cherry hilang!" Aliman memberi tahu Lena.

"Argh! Sialan! Kalian memang anak dan bapak nggak tahu diri, selesaikan sendiri aku nggak peduli!" Lena memutus sambungan telepon dari Aliman.

"Heh! Dasar!" Aliman berseru tapi sudah terlambat. Lena tidak lagi menjawabnya. "Argh!" Aliman berteriak. Ia kalang kabut. Bingung, tidak tahu harus melakukan apa lagi. Semua yang ia kira bisa dibeli dengan uang hancur seketika. Tidak bisa ia gunakan lagi uangnya untuk menyumbat jalur hukum yang semestinya.

"T-tuan, nyonya memanggil tuan," ucap salah satu asisten ketakutan.

"Ah! Apa lagi ini?" Aliman berseru meski akhirnya ia tetap berjalan menuju lantai dua kamar milik sang istri.

"Ada apa?" tanya Aliman tanpa menoleh ke arah sang istri.

"Pa ..." Suara lemah wanita itu terdengar.

Aliman menoleh dan kini menatap wanita berwajah pucat itu.

Istrinya menggeleng lemah. "Jangan bebani Cherry lagi," rintih Mama Cherry pelan.
"Bebani?" Hampir saja Aliman lupa dan mendebat ucapan sang istri. Ia segera ingat bagaimana kondisi wanita yang terbating lemah itu. Aliman menvoba meredam emosinya. Ia menahan napas dan duduk di dekat ranjang sang istri.

"Papa hanya khawatir," jawab Aliman seraya menyentuh punggung tangan ibu kandjng Cherry Yustanagara.

"Tuan," panggil seorang asisten di pintu kamar Mama Cherry. Aliman menoleh dan menibggalkan istrinya kembali sendiri. Asisten rumah tangga yang akan menjaga Nyonya besar di rumah itu.

Aliman berjalan ke luar ruangan dan berhadapan dengan salah satu asisten rumah tangga yang tadi memanggilnya.

"Ada kabar, kemungkinan Cherry di bandara dibawa oleh Adrian," ucap asisten pria tersebut.

"Adrian?" Aliman naik pitam. "Bukankah sudah ku beri tahu supaya tidak bertemu penyidik sialan itu!" Aliman tak kuasa menahan amarahnya di depansang istri.

"Ini baru dugaan Tuan, karena di waktu yang sama, dari rekaman cctv di bandara, ada sosok Adrian juga berada di sana." Asisten pria itu melanjutkan laporannya.

Aliman menggeleng. "Jangan sampai Cherry mengikuti penyidik itu!" Ia bergumam. "Lekas kerahkan semua orangku untuk mencari Cherry!" perintah Aliman pada sang asisten.

Aliman memutar otak. Bagaimana caranya supaya bisa membuat Cherry kembali. Ia mencoba menghubungi tim pengacaranya. Ia ceritakan bahwa ia telah kehilangan sang putri.

"Tenang, jika penyidik itu membawa Cherry, bukankah kartu As buat kita?" Pengacara itu menjawab di telepon. "Apalagi, aku sudah dengan Cherry dan penyidik itu punya hubungan khusus, biarkan saja. Penyidik itu pasti sedang mengalami dilematisasi hati."

Aliman lagi-lagi kesal. Jawaban sang pengacara justru membuatnya semakin bimbang. Dia tidak hanya khawatir Cherry ditangkap, ia juga mengkhawatirkan dirinya sendiri.

"Tuan, Nyonya memanggil," seornag asisten wanita menemui Aliman.

Aliman menghempaskan keluh kesahnya. Ia berjalan menuju ruangan sang istri.

"Pa ..." Suara lemah istrinya terdengar.

"Iya, Papa di sini," Aliman mencoba menggenggam tangan sang istri.

"Pa, apa benar Cherry seorang pembunuh?" Bibir wanita itu bergetar menanyakan hal itu.

Aliman dengan cepat menggeleng dan mendekat ke wajah sang istri. "Tidak, Ma. Tidak. Jangan khawatirkan Cherry, Papa akan berusaha sebisa mungkin untuk melindungi dia." Aliman berjanji. Tangan lemah wanita itu ia genggam.

Meski Aliman sering bermain wanita di luar, tapi melihat ketidakberdayaan istri dan anaknya, ia iba. Bagaimana bisa, keluarganya kini di ambang batas. Terutama keadaan sang putri tunggal yang kini jadi buronan.

"Kamu tenang ya, Papa akan jaga anak kita baik-baik." Aliman mencoba mengusap kening istrinya. Mama Cherry pun mengangguk pelan.

"Mama percaya sama Papa," lirih wanita itu. Aliman mengangguk meski tiba-tiba lehernya bak tercekik oleh rasa bersalah yang tak berkesudahan. Bagaimana bisa ia malah membuat perempuan lemah lembut ini terluka berkali-kali. Dan lagi-lagi ia selalu bilang percaya, sangat mempercayai suaminya.

Aliman terduduk di samping ranjang sang istri. Ia merasa sangat miskin kala itu. Miskin hatinya, ia tak memiliki apa pun untuk ia pamerkan. Hartanya bak musnah seketika oleh kata percaya dari sang istri. Ia benar-benar merasa malu, istri yang sudah ia sakiti justru sangat mempercayainya.
***

Triiiing

Ponsel Adrian berdering. Tepat saat ia menoleh ke kanan kiri mencari gadis yang sempat ada di hatinya itu. Ia khawatir Cherry memilih menghindar dari tanggung jawab dan pergi.

"Adrian?" Suara Cherry terdengar dari seberang.

"Cherry, kamu di mana?" Adrian bertanya.

"Maafkan aku," lirih Cherry pelan.

"Cher, please, kooperatiflah dengan kami." Adrian mencoba membujuk Cherry. "Keterangan pasti akan lebih jelas jika kamu terbuka dan mengatakan semua dengan jujur. Cher, jangan berbohong lagi, akui dan kemukakan alasannya," ucap Adrian lagi.

"Maafkan aku," Cherry malah tergugu mendengar ucapan Adrian.

"Cher, kamu di mana? Aku jemput, kamu bisa pakai pengacaramu, beri keterangan dengan baik. Please Cher, berpikirlah rasional." Suara Adrian terhenti, obrolannya dengan Cherry di telepon terputus sambungannya. Entah karena Cherry sengaja mematikan sambungan teleponnya atau terputus tiba-tiba. Adrian mencoba menghubungi kembali tepi sia-sia. Ponsel Cherry sudah tidak aktif lagi.

Adrian menghela napas. Di anatar lalu lalang pengunjung bandara yang padat, ia seolah mengecil. Ia gagal mengajak Cherry kembali. Sekarang entah gadis itu ada di mana.

Adrian hanya khawatir Cherry lari dari masalah. Seperti dulu, seorang siswa SMA bersimbah setelah ditusuk menggunakan pena. Ya, Cherry lah pelakunya. Cherry kabur dan tidak mau memberi keterangan, untung saja ada yang bersaksi bahwa saat itu siswa tersebut hendak melakukan pelecehan pada siswi yang bersaksi itu, dan Cherry lah yang menolongnya. Meskipun cara Cherry mebolong tergolong sadis.

Adrian terkenang. Cherry memang seperti itu, ia berwatak keras. Sayangnya ia cukup pengecut untuk maju mempertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan.

"Cherry, ku mohon, jangan lari lagi," batin Adrian penuh harap.

***

Langit cerah mendadak berawan
Ada rasa bersatu tak tentu
Simpati dan cinta beradu
Bak bongkahan es dan arang saling menyapa
Hadirlah di hatiku
Wahai jiwa pemaaf

CIRCLE OF LOVE Where stories live. Discover now