13

89 12 1
                                    

Luka lara beradu
Bersimbah kubangan duka
Cinta semanis madu
Namun waktu memaksanya pilu
***

Adrian Putra Pratama, putra bungsu keluarga Pratama. Memilih karir sebagai penyidik, enggan terjun di dunia bisnis. Termasuk mengelola pusat perbelanjaan besar di kota. Adrian, ia memilih menyepi. Jauh dari hingar bingar gelimpangan harta. Ia lebih menyukai berkutat menguak tabir, saat setiap orang mempertanyakan kebenaran.

"Kau sudah mengunjungi kakakmu?" Gusta dengan tegas bertanya. Bias khawatir di wajahnya sebisa mungkin ia tutupi. Tak ingin orang lain tahu, termasuk sang putra. Namun, sorot tajam yang kini sendu tak bisa menipu. Ia tampak gusar, memikirkan nasib si sulung, sang putri kesayangannya.

"Ia baik-baik saja, Ayah tak perlu khawatir," jawab Adrian menenangkan Gusta. Tapi, usia Gusta tidaklah pantas ditipu hal mentah seperti itu. Ia sangat tahu, putranya hanya berusaha membuatnya tenang.

"Seringlah kunjungi dia," pinta Gusta seraya duduk di kursi kebesarannya. Memandangi ruang tanpa atap di kolam renang. Duduk seraya mengambil surat kabar yang lagi-lagi membahas persoal sang putri. "Karirnya berantakan, ia tak mungkin kembali ke dunia entertainment," lanjut Gusta setelah menyecap kopi.

Adrian mengangguk mengiyakan. Ia lantas pamit untuk kembali ke kantornya. Tidak lupa ia meminta ayahnya menjaga kesehatan.

Pagi telah mengintip dari ufuk timur. Matahari serukan kilaunya yang berpedar ke segala penjuru bumi. Adrian tampak mengendarai Fiat hitamnya. Jalanan kota sudah mulai menggeliat. Lalu lalang masih perlahan, belum semacet di jam-jam sibuk. Adrian membuka kap mobilnya. Udara pagi menguar di seluruh raga. Ia membelokkan kemudi ke sebuah gedung tinggi menjulang. Suara rem berdecit saat roda-roda itu menurubi basement parkir gedung berpuluh-puluh meter dari atas tanah.
Selepas masuk ke elevator, Adrian menyentuh tombol dua puluh, sebuah tempat yang bukan kantornya. Melainkan ruang tahanan sementara bagi para kasus terpidana.

Adrian kini duduk di ruang tunggu. Di depan kaca bening dengan lubang-lubang kecil. Menanti seseorang yang akan duduk di hadapannya. Gadis itu tiba, ia sudah mengenakan baju tahanan berwarna abu-abu. Wajahnya pucat tak ada riasan, matanya sayu, ia mungkin menangis semalaman.

"Apakah keadaanmu begitu buruk di sana?" Adrian bertanya. "Andaikan kau mengakuinya saja," lanjut Adrian.
Alisha menatap adiknya dengan nanar. Kilat matanya bak hunusan pedang tepat ke wajah sang adik.

"Aku bukan pembunuh!" seru Alisha.
"Lantas apa? Semua bukti mengarah padamu?" balas Adrian.

"Katamu kau penyidik? Tidak malu menyebut diri sebagai penyidik tapi tidak tahu mana yang benar dan yang salah!" Alisha menangis. "Kalau kau memang penyidik, cari kebenaran itu, bebaskan aku!" Alisha tampak kesal. Ia memilih meninggalkan sang adik dan masuk kembali ke ruang inapnya.

Adrian mematung menatapnya. Kosong, kalimat Alisha benar-benar menamparnya. Alisha benar, kebenaran harus terungkap. Di sana masih ada Cherry yang melenggang tanpa ada kecurigaan.

Namun, lagi-lagi Adrian termenung. Cherry gadis polos itu tidaklah mungkin melalukan pembunuhan. Tidak, atau memang tidak tahu.
Senja merona, menghias cakrawala. Melepuhkan penat seharian bekerja. Adrian sudah di dalam mobilnya saat Cherry menelepon.

"Jadi mau ke sini?" Cherry bertanya.

"Iya." Adrian mengiyakan pertanyaan Cherry. Ia lantas tancap gas dan roda-roda itu pun melaju di jalanan kota sore itu. Berbaur dengan keramaian kota metropolitan. Melaju tak kenal lelah hingga menuruni jalanan yang lebih sepi. Sebuah kawasan elit di perkotaan. Rumah-rumah mewah berderet dengan luas masing-masing rumah sekitar puluhan meter persegi. Hanya tampak pagar-pagar menjulang.

CIRCLE OF LOVE Where stories live. Discover now