27

82 13 0
                                    

Hening. Malam bergeming di titik nol waktu. Tak ada satu pun suara. Senyap langit hitam bersama gemintang. Bulan bersembunyi entah di mana. Seorang gadis menengadah menatap langit. Berharap jika sepasang sayap menjemputnya segera. Menerbangkan segenap asa ke titik bintang yang berkelip itu. Berjarap kakinya tak lagi berpijak di bumi ini.

"Cherry." Suara lemah seorang wanita paruh baya menyebut namanya.

Gadis itu segera menoleh dan menghampiri sang ibu yang terbaring lemah. Tangannya segera menjemput tangan kurus yang layu itu.

"Ma ..." Suara paraunya terdengar. Matanya sedikit sembab dan akan kembali berair tatkala melihat tatapan kosong sang ibu.

"Apakah ada yang mengusik pikiranmu?" Suara lemah itu bertanya. Seakan dirinya kuat menanyakan masalah Cherry padahal tubuhnya lebih rapuh karena sakit yang dideritanya.

"Tidak apa-apa, Ma. Cherry baik-baik saja. Mama tidak usah memikirkan hal-hal lain, fokus untuk kesembuhan saja," tutur Cherry dan membelai kening sang mama.

"Apa pun masalahmu, selesaikan baik-baik." Mamanya mulai menasihati. "Jangan sampai meminjam tangan setan untuk menyelesaikan masalahmu." Mama Cherry memejamkan matanya. Mengenang kelakuan sang suami yang kerap kali melakukan segala cara bahkan jalan pintas untuk menyelesaikan masalah-masalahnya. Ia hanya berharap Cherry tak melakukan hal-hal buruk seperti Papanya.

Sayangnya, Cherry tertunduk menyunggingkan senyum. Sepasang manikam membulat menatap tangan kanannya. Tangan mungil dan lembut itu hendak menggenggam tangan sang mama, tapi ia urung. Hanya mengepal di udara.
"Mungkin saja, ini tangan setan," batin Cherry.

Hening kembali malam itu. Hanya embusan angin malam yang sesekali bertiup.

***

"Kamu tidak bisa mengelak lagi." Andrian menangkap pergelangan tangan seorang gadis cantik di bar malam ini. Gadis itu berusaha melepaskan cengkeraman tangan kokoh sang penyidik yang kini berpakaian casual. Namun, wajah sang gadis tetap berusaha tersenyum seolah tidak apa-apa. Ia juga berusaha keras tidak menarik perhatian para pengunjung bar.

"Kita bisa bicara baik-baik, tolong lepaskan," bisik sang gadis yang tak lain adalah Anggun Larasita seorang artis dan model di Allow Menejemen.

"Jangan menghindar lagi, justru kalau kamu terus menghindar aku akan semakin menyimpulkan sesuai pikiranku saja," ucap Adrian bernada mengancam.

"Ayo berbicara di tempat lain, di sini sangat bising." Anggun mengajak Adrian menaiki anak tangga ke lantai dua bar itu. Di sana lebih sepi. Terdapat pula kursi untul santai duduk dengan temaram lampu.

"Apa yang hendak kamu tanyakan tuan detektif?" Anggun duduk menyilangkan kaki, seolah tak punya salah apa-apa. Ia tampak santai.

"Jawab pertanyaanku, hari Sabtu, tujuh Oktober, tepat saat kematian Alan Pramoedya di Pod Cafe, kamu ada di mana?" Adrian memulai pertanyaan.

"Di mana? Mana aku ingat?" Anggun mengelak.

"Di Restoran Apung Ancol bersama Aliman Yustanagara, bukan?" Adrian memberi pertanyaan langsung.

Anggun cukup terkejut,  dia mengubah posisi duduknya, menarik napas, dan kembali menatap Adrian. Adrian menemukan jawaban sebelum Anggun menjawab. Terjawab dari perubahan gestur Anggun. Adrian pikir, artis ini bisa berakting di luar tokoh yang ia perankan, nyatanya tidak.

"B-bagaimana kamu menyimpulkan seperti itu?" Anggun tampak gugup menjawab pertanyaan Adrian.

"Jawab saja, iya atau tidak. Tidak perlu berbohong, karena kebohonganmu akan memperumit masalah, posisimu juga tidak menguntungkan jika kamu berbohong." Adrian memaksa.

CIRCLE OF LOVE Where stories live. Discover now