17

81 15 0
                                    

Deru dingin membungkus nadi
Sempat ia membangunkan hati
Tatkala sunyi menyapa lagi
Aku tersesat jauh untuk kembali
***

"Selidiki kembali Cherry Yustanagara!" pinta Adrian di runag rapat khusus tim penyidik kasus pembunuhan Alan Pramoedya. Adrian telah memutuskan untuk menggali lebih dalam rahasia macam apa yang disembunyikan Cherry maupun Aliman Yustanagara.

"Untuk apa?" Lena menyangkal. "Kita sudah menemukan tersangka, bukti sudah kuat. Terus apa lagi?" Pertanyaan retoris dilempar Lena ke peserta rapat. Mereka saling tatap. "Lempar kasus ke kejaksaan," perintah Lena seketika. "Adrian, kamu bisa membantu Alisha mencari pengacara," lanjut Lena tanpa basa-basi.

Adrian mengeryitkan kening. "Ada apa ini?" batin Adrian bertanya-tanya.

"Jangan cuma karena kamu adik tersangka, kamu berusaha mengulur waktu." Lena menghardik.

"Aku nggak mengulur waktu, ini soal kebenaran yang harus diungkap, jangan sampai kita salah tangkap!" Adrian berseru. Ia bangkit dari kursinya.

"Benar kata Adrian, sebaiknya kita selidiki kembali Cherry, ada yang janggal dari pernyataannya." Suhendi menengahi. Anggota tim lain mengangguk menyetujui pendapat Suhendi. Lena menatap rekannya itu tajam.

"Oke baiklah, bagian mana?" Lena menyerah. Ia duduk di kursi dan memijat keningnya sesaat.

"Pernyataan Cherry mengenai keberadaannya di Restoran Apung Ancol, kita mulai dari sana." Adrian membuka strategi.

"Ada apa dengan pernyataannya?" Suhendi bertanya.

"Aku meragukan alibinya." Adrian berpendapat.

"Bukankah sudah konfirmasi ke Restoran Apung Ancol, memang mereka tidak yakin soal wajah, hanya saja CCTV dan pengakuan pelayan restoran, sosok Cherry memang datang ke restoran itu, bukan?" Penyidik lain menambahi.

"Betul, tapi tidak ada bukti yang pasti siapa yang makan malam dengan Aliman, bukan?" Suhendi mulai sependapat dengan Adrian.

"Oke, Adrian dan Suhendi, kalian bisa ke restoran Apung Ancol besok dengan membawa surat penyelidikan." Lena memberi perintah.

"Siap, laksanakan!" Suhendi dan Adrian menerima tugas dengan mantap.

Malam menekuk waktu. Cumbu rembulan di kegelapan malam. Adrian memasuki mobilnya. Menekan pedal gas dalam-dalam. Mobil pun meraung melewati senyapnya basement gedung utama kepolisian kota.

Ada tekad setinggi langit. Demi kebenaran yang tersembunyi di langit pekat. Bak sekerlip bintang harapan.

***

Angin malam berembus. Ombak pantai Marina berlomba suarakan deburnya. Lampu-lampu di sekitar tampak temaram. Kapal megah yang disulap menjadi restoran terlihat kokoh di lautan.

Adrian menjejakkan kaki di lantai kapal berlapis granit hitam. Suhendi mengikutinya di belakang.
Percakapan demi percakapan dengan menejer restoran Apung Ancol berlangsung dengan baik dan ramah. Menejer turut bekerja sama dan memberikan informasi sebaik mungkin ia bisa.

Rekaman cctv pun ditunjukkan kembali. Tampak memang wajah manis Cherry yang berbalut gaun hitam memasuki restoran itu, hanya saja, Adrian dan Suhendi tidak menemukan waktu dia keluar restoran. Mungkin saat beramai-ramai dengan pengunjung lain. Hanya sosok yang mirip Cherry lah yang tampak di rekaman cctv keluar restoran dibarengi Aliman Yustanagara.

"Apa yang mereka pesan?" tanya Adrian. Suhendi tidak menyangka Adrian bakal mempertanyakan makanan yang dipesan Aliman bersama yang diduga Cherry.

"Tenderloin dan Flank," menejer itu membuka file pesanan pelanggannya di hari Aliman memesan tempat. Tenderloin dan Flank merupakan varian steak daging sapi. Sangat wajar memesan kedua makanan itu.

Adrian masih mengamati. Suhendi di sampingnya juga tetap fokus.

"Untuk minumannya mereka memesan dua latte macchiato." Menejer restoran Apung Ancol kembali menjelaskan.

"Macchiato?" Adrian mengulang kembali pernyataan sang manajer.  "Nggak mungkin," lanjut Adrian sembari melihat langsung daftar menu yang ditunjukkan menejer restodan itu.

"Benar, mereka memesan minuman itu, jelas ada di daftar pesanan ini," terang menejer muda itu.

Adrian menggeleng. Satu benang merah yang kusut ia temukan. Ia semakin yakin, Cherry telah berbohong.

"Cherry alergi kafein, ia tidak mungkin meminum Macchiato, dan ayahnya juga tidka mungkin memesankan itu untuknya." Adrian menarik kesimpulan. "Ada gadis lain, selain Cherry." Dengan tegas Adrian mengungkap hal itu.

"Artinya, orang yang dilihat di rekaman cctv keluar bersama Aliman, bukan Cherry?" Suhendi meyakinkan dirinya sendiri.

Adrian mengangguk yakin.

"Lantas siapa?" Suhendi bartanya-tanya.

"Gadis yang mirip dengan Cherry, dan malam itu ia makan malam bersama Aliman Yustanagara." Adrian menghela napas. "Aliman mengaku di media ia pergi dengan Cherry, sementara Cherry juga mengakui hal itu saat interogasi. Keduanya saling bekerja sama untuk menutupi kebohongan masing-masing."

Adrian sampai pada titik itu. Ia sangat yakin kalau sesuatu ditutupo oleh keduanya. Hanya saja, Adrian masih tak mengerti apa yang mereka sembunyikan.

"Seseorang yang mirip Cherry, siapa? Apa hubungannya dengan Aliman? Mengapa Cherry berbohong? Di mana dia saat itu?"

Tanya berkelebat di kepala penyidik muda itu. Ia bahkan lupa jantungnya sempat berdesir melihat senyum manis gadis idamannya itu. Ia lupa rindu yang lama terpwndam di dasar dada. Ia lupa bahwa cinta sempat bersemi kembali, nalurinya sebagai penyidik mengalahkan hatinya yang bertebaran bunga-bunga. Inilah Adrian dengan semangat membara, demi kebenaran. Ia kesampingkan segala rasa, cinta atau saudara. Baginya kebenaran adalah hal tertinggi yang harus ia junjung. Selama sumpah jabatan itu masih melekat di pundaknya.

"Kita harus melaporkan hal ini ke Lena," ajak Suhendi seraya menepuk bahu rekan kerjanya itu.

Adrian mengangguk. Keduanya telah mengantongi bukti-bukti. Mereka lantas kembali ke mobil. Berbaur dengan malam yang semakin senyap. Udara dingin berdesir menyisir kulit. Jaket hitamnya tak sanggup menghangatkan dinginnya malam ini. Sayup suara mesin menderu, tak kenal lelah. Keduanya tetap bekerja.

***

Selamat membaca kawan-kawan

CIRCLE OF LOVE Where stories live. Discover now