7

112 15 0
                                    

Ratu malam tampak berbinar
Lenyapkan pekat yang menyekat
Ia datang bak elang menyambar
Sekejap mata lalu musnah

***

"Gue bukan pembunuh!" Alisha berseru di ruang interogasi. Lena masih tenang di hadapannya. Ia mendapat tugas menginterogasi artis cantik yang turut berada di kafe kala itu.

Alan Pramoedya, Ceo agensi model dan artis tewas ruang VIP Pod Cafe. Ia ditemukan sudah tak bernyawa dengan luka tusukan botol wine. Alan diperkirakan tewas pukul 23.00 dan ditemukan oleh petugas kafe pukul 2 dini hari. Di ruangan tersebut tidak ada cctv, tapi di koridor menuju ruangan itu ditemukan sosok yang keluar di jam antara 23.00, seorang wanita.

Kecurigaan pertama tertuju pada Cherry Yustanagara, tunangan korban. Ia diduga memiliki janji bertemu dengan sang CEO di kafe tersebut. Tapi, Cherry menyangkal. Ia berada di Restoran Apung Ancol bersama Aliman Yustanagara, sang ayah. Kecurigaan kedua pada Alisha Rose Pratama, keduanya juga diduga memiliki skandal. Alisha diperkirakan datang ke kafe itu pukul 21.00.

"Wajahmu terekam CCTV saat datang ke kafe itu." Lena dengan tenang menyebutkan.

"Gue emang datang, nemuin si berengsek itu." Alisha masih berwajah kesal. "Heh, adik gue penyidik juga, biar gue ngomong sama dia," pinta Alisha karena kesal diinterogasi Lena yang terus memandang sinis padanya.

"Adrian?" Lena bertanya. "Dia diturunkan dari ketua tim menjadi anggota, karena kamu." Lena seolah memancing reaksi Alisha. Salah satu cara supaya seseorang menceritakan banyak hal yang mungkin ia sembunyikan.

"Gara-gara gue gimana? Gue nggak salah!" Alisha berseru. "Gue emang datang ke sana nemuin si berengsek itu. Tapi, dia masih hidup. Dan gue nggak bunuh dia!" Alisha terus mengatakan apa yang ia alami.

Lena mengangguk meyakini kejujuran Alisha. Ia menyelesaikan interogasi dan kembali ke ruangannya. Membiarkan Alisha keluar untuk mengatur jadwal kesaksian selanjutnya.

"Gimana?" Adrian semenjak tadi menunggu hasil yang dibawakan Lena.

"Dia bilang nggak membunuh. Tapi, dia mengaku menemui korban." Lena menyerahkan catatannya.

Adrian membacanya sesaat. "Gila!" umpat Adrian. Ia masih menyesalkan kenapa sepulang dari Singapura Alisha malah menemui pria itu.

"Sudah sejauh apa hubungan mereka?" Adrian bertanya pada Lena.

"Mereka sudah dekat sebelum Alan Pramoedya bertunangan dengan Cherry Yustanagara." Lena menjelaskan.

"Alisha punya motif," ucap Adrian.

"Ya, kekecewaan karena dikhianati. Alisha bahkan masih menyebut korban dengan sebutan si berengsek. Artinya, Alisha sangat membenci korban." Lena masih mempelajari hasil wawancaranya barusan.

Adrian mengangguk. Tapi lagi-lagi tangannya terkepal. Giginya saling beradu menahan kesal kelakuan sang kakak. Bagaimana bisa sang kakak juga akan menghancurkan karir yang baru ia rintis. Jika Alisha benar terbukti bersalah, betapa malunya ia yang berprofesi sebagai penyidik sementara anggota keluarganya sendiri adalah pembunuh. Adrian tidak bisa membayangkan bagaimana ia tetap profesional saat wajahnya bak dicoreng arang.

"Lengkapi data dari laboratorium, apakah ada alibi yang kuat untuk Alisha. Atau mungkin ada sosok lain yang korban temui di sana." Adrian memberi perintah. Ia masih menjadi ketua tim kasus pembunuhan sang CEO. Namun, jika Alisha menjadi tersangka, tak khayal kalau ia akan melepas jabatan ketua tim itu meski tetap turut serta investigasi lantaran sudah menjadi sumpah jabatannya untuk profesional pada pekerjaan dan tidak menghiraukan hubungan keluarga atau masalah pribadi di dalamnya.

Adrian keluar ruangan. Sudah larut. Kaca besar memperlihatkan kelip lampu di gedung-gedung pencakar langit. Adrian memasuki elevator sembari menyandarkan jaketnya di bahu. Rasa letih berkumpul di pundak. Ia menyandarkan tubuh kokohnya di sandaran elevator.

Ting

Elevator berhenti, pintu terbuka dan seseorang memasuki ruangan persegi itu.

"Ian!" sapa perempuan itu. Adrian menoleh dan dilihatnya sosok yang lama sekali tak ia jumpai.

"Cha," jawab Adrian menyebut sang gadis yang tak lain adalah Alisha Rose Pratama, kakaknya sendiri yang akrab ia sapa Icha.

Icha dan Ian. Sebutan kakak beradik itu semenjak kecil. Masa kecil yang indah. Penuh kehangatan dan kasih sayang. Keduanya juga tidak menyadari kapan kehangatan itu memudar dan perlahan membeku oleh waktu.

"Sudah tahu?" Alisha bertanya pada adiknya setelah beberapa detik membisu.

"Iya." Adrian menjawab singkat. Tapi wajahnya tak bisa membohongi perasaannya yang kesal.

"Kamu marah?" Alisha bertanya.
Adrian tidak menjawab. Ia lebih asik memandangi pintu elevator.

"Aku minta maaf." Alisha mencoba mencairkan suasana. Sayangnya, sang adik masih saja beku. Bak gumpalan gunung es di Samudra Artik. "Aku menyusahkanmu," lanjut Alisha.

"Aku nggak peduli," jawab Adrian ketus.

"Tapi aku nggak bersalah." Alisha membela diri.

"Aku nggak peduli." Adrian mengulang kalimatnya. "Sama seperti kamu nggak peduli Papa. Pulang dari Singapura malah nemuin orang lain." Adrian mengakhiri kalimatnya tepat saat pintu elevator terbuka. Dia dengan tenang meninggalkan sang kakak. Berjalan tegap tanpa menoleh lagi. Meninggalkan Alisha yang hatinya bak diiris sembilu. Ada perasaan sesal yang menyeruak dalam dada. Sesal karena telah mengabaikan keluarganya begitu lama. Papa, adik, terutama Mama. Alisha teringat, ia bahkan tak ada saat sang Mama tersiksa oleh sakitnya.

Ia turut berjalan keluar gedung kantor kepolisian kota. Tapi tidak mengikuti sang adik. Ia memilih berjalan lambat supaya jarak keduanya terpaut jauh. "Jika tidak bisa membantu, mungkin lebih baik tidak juga menjadi beban," pikir Alisha.

Namun, langkah Alisha terhenti saat melihat Adrian dengan seorang gadis di teras gedung. Alisha merasa tidak asing dengan gadis itu.

"Kenapa, Cha?" tanya Bimo saat mendapati artisnya melamun.

"Itu?" Alisha menunjuk dua muda-mudi yang masih mengobrol itu.

"Bukannya itu Ian, adik elo?" Bimo tercengang melihat Adrian di sana. Alisha mengangguk. Tapi, Bimo belum selesai bicara. "Dan gadis itu ... tunangan Alan, Cherry Yustanagara," lanjut Bimo seraya memperhatikan gadis berambut sebahu itu.

"Gue pernah lihat dia! Ya, nggak salah lagi." Alisha seolah menemukan potongan puzzle yang hilang. Ia mengangguk-angguk menelaah pikirannya sendiri.

"Kenapa sih, Cha?" Bimo lagi-lagi bertanya.

"Gue lihat, dia dan Alan bertengkar di ruang VIP kafe tempat alan terbunuh." Mata Alisha menatap lekas Cherry. Tidak salah lagi, Alisha ingat dengan kesaksiannya ini.

"Sungguh, Cha?" Bimo tampak bersemangat. "Lo aman Cha kalau memang selain elo ada yang ketemu Alan lagi di kafe," tutur Bimo senang. "Ada bukti?" Bimo mencoba menelusuri.

Alisha menggeleng. Sayangnya,  ia tidak bisa membuktikan Cherry sempat di sana juga.

Alisha tertunduk pasrah.

"Tapi, untuk apa dia dekat dengan Adrian." Alisha berwajah sendu. Senja perlahan turun ke langit barat.

***

Kyaaaa
Siapa sebenarnya pembunuh Alan?

Jadi makin senapsaran

Ayooo kasih bintang dan komentarnya yaaaa

Terima kasih
Selamat membaca
🥰🥰🥰🥰

CIRCLE OF LOVE Where stories live. Discover now