3

7K 693 38
                                    

Sebisa mungkin Eva menyembunyikan kenyataan kalau dirinya sudah mengetahui dagelan yang sedang dilakoni sang suami. Eva tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Sejak pagi, ia sudah sibuk di dapur dengan dibantu Mbak Maryam. Roti tawar dan beberapa botol selai beraneka rasa sudah siap. Semangkok besar nasi goreng bakso buatannya pun sudah tersaji.

Masih dengan celemek yang melilit di pinggang, Eva mengetuk pintu kamar Tama. Ucapan untuk tak lagi menginjakkan kaki di sana dibuktikannya. Apalagi setelah apa yang didengarnya semalam.

"Sudah bangun, Pa?" ucapnya. Ia akan menunggu setidaknya tiga menit di depan kamar sampai ada jawaban dari dalam sana. "Pa, sudah bangun belum?"

"Sudah," jawab Tama.

"Sarapannya sudah siap."

Wanita itu lanjut melangkah ke lantai atas. Masih ada dua kamar lagi yang harus diketuknya. Sebelum ke dapur, ketiga anaknya memang sudah bangun. Namun, mereka membutuhkan waktu untuk bersiap.

"Sarapan dulu. Ayah sudah nunggu di meja makan."

Saat mereka sampai di ruang makan, Tama sedang menikmati kopi sembari membaca koran paginya. Anak-anak duduk di tempat masing-masing. Eva mulai berkeliling menuang susu ke gelas masing-masing.

Semuanya makan dalam diam. Sejak kejadian itu, tak ada lagi perbincangan riuh yang meramaikan waktu sarapan. Ketiga anaknya lebih senang untuk menyibukkan diri sambil menikmati lezatnya makanan buatan sang Bunda ketimbang menimpali guyonan garing yang Tama buat.

"Kalian mau kita liburan lagi sekeluarga?" ucap Tama. Namun, tak ada seorang pun yang merespons. "Ayah lagi ngomong sama kalian bertiga. Kenapa nggak ada yang jawab?"

"Abang ... Kakak ... Adek, Ayah tanya kalian," ucap Eva. "Kalian mau liburan ke mana?"

"Nggak usah liburan. Aku, Saga dan Terra nggak butuh liburan," jawab Samudera yang membuat Eva mengembuskan napas. "Nggak mau kejadian malam itu keulang lagi."

"Abang!" Suara Eva yg bernada cukup tinggi membuat Sagara dan Terra yang semula ogah menyimak pun menjadi menjadi bersemangat mengetahui kelanjutan cerita.

"Emang ada apa, Bang?" bisik Sagara yang masih bisa Eva dengar dengan jelas. Samudera melirik ke arah sang Bunda yang menggeleng pelan seolah berharap kalau putranya tak perlu menjelaskan apa yang sudah terjadi pada kedua adiknya. "Abang ditanyain, ih."

"Nggak ada apa-apa. Cepat makannya diabisin! Kita sudah telat."

Tak sampai sepuluh menit, ketiganya sudah membuat piring mereka bersih tanpa menyisahan sedikit pun makanan. Mereka berpamitan, mencium punggung tangan dan mengecup pipi Eva dan Tama. Rumah seketika mendadak sepi. Wanita itu mulai menyibukkan diri membereskan piring-piring kotor, membawanya ke dapur dan mencucinya. Mbak Maryam masih belum kembali dari warung sayur yang terletak 4 blok dari rumah mereka.

Sepasang tangan besar melilit di pinggangnya. Hangatnya napas seseorang berembus teratur di telinganya. Tangan besar itu bergerak mengusapi perutnya dengan lembut. Turun, turun dan semakin turun ke bawah, berusaha untuk mengorek sesuatu di balik terusan yang dikenakannya. Bibir Tama tak tinggal diam. Beberapa tanda jelas akan muncul setelahnya.

Eva mulai menikmati apa yang dilakukan sang suami padanya. Sudah cukup lama ia memang merindukan sentuhan itu. Tangan besar yang kini tengah berusaha membangkitkan gairahnya pernah dipakai untuk membangkitkan gairah wanita lain. Bibir yang sedang menghisap dadanya dengan semangat itu juga pernah digunakan untuk menghisap dada wanita lain, bahkan mungkin sampai ke bagian inti wanita itu. Tak ingin terjerumus, Eva pun segera mendorong Tama.

"Sorry, Tam. Aku nggak bisa," ucap Eva. Tama yang hampir bergairah pun terlihat kecewa. "Aku nggak bisa."

"Kamu kenapa, Va?" sahut Tama. "Aku tau kalau kamu juga menginginkan aku, Va. Tubuh kamu mengenal setiap sentuhanku. Tubuh kamu menginginkan aku! Jangan menghindar, Va. Kita bisa coba lagi."

Tentang Sebuah KisahWhere stories live. Discover now