6

7.1K 767 64
                                    

Seorang laki-laki duduk dengan kedua kaki yang tertekuk. Pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto yang menempel di dinding ruangan. Ia masih ingat betul dua hari sebelum foto itu diambil, sang istri sibuk menentukan tema pakaian yang akan mereka kenakan. Wanita yang begitu dicintainya menginginkan seluruh anggota keluarga tampil sempurna di depan kamera. Kelimanya tersenyum bahagia, seolah kebahagiaan akan selalu menyertai keluarga mereka. Tak pernah terbesit kalau badai besar menerpa dan menghancurkan segalanya tak bersisa.

Sejak pengacaranya mengabarkan hasil keputusan sidang, Tama memilih untuk menyendiri. Rumah yang lima belas tahun ini ditempatinya bersama Eva dan ketiga anak mereka terasa begitu sunyi. Tak ada lagi suara anak-anak yang saling berkejaran ke sana- ke mari. Pun, suara teriakkan Eva saat memanggil seisi rumah untuk berkumpul di ruang makan. Gelap. Seluruh lampu dipadamkan, kecuali lampu teras yang memang dibiarkan menyala.

Rumah tangganya karam. Permohonannya untuk mengembalikan keutuhan selalu mendapatkan penolakan dari sang mantan istri. Rasa sakit yang ditorehkan Tama di dada wanita itu terlalu dalam.

Ponsel Tama berdering. Nama Regina muncul di layarnya. Beberapa hari ini wanita itu memang terus memberondongnya dengan pesan dan panggilan telepon. Tak ingin terus-terusan diteror, ia pun terpaksa mengangkat telepon.

"Kenapa?"

"Kamu di mana? Aku telepon berkali-kali nggak diagkat. Pesanku juga nggak kamu balas."

"Tolong jangan ganggu aku. Aku mau sendiri."

"Seharusnya kamu senang karena sudah resmi bercerai. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi, Mas."

"Sorry. Aku lagi nggak mau bahas soal ini. Aku mau istirahat. Jangan ganggu aku."

"Mau sampai kapan kamu ngumpet kayak begini?"

"Bukan urusan kamu! Kalau kamu nggak goda aku, ini semua nggak akan terjadi. Aku pasti masih hidup bahagia dengan keluargaku. "

"Kenapa kamu salahin aku? Kamunya aja yang nggak tahan digoda. Setelahnya juga kamu kan yang ngerayu aku. Jangan munafik. Hubungan ini atas dasar suka sama suka. Jangan kamu pikir seolah kamu yang paling dirugikan. Kita berdua itu sama-sama pendosa."

"Kita nggak usah ketemu lagi. Aku nggak bisa lanjutin hubungan ini."

"Mas! Kamu nggak bisa"

Panggilan selesai. Tama menghela napas. Rasanya begitu lelah, padahal sama sekali tak melakukan apapun. Ia hanya menghabiskan waktu dengan terus-terusan menatap foto-foto yang tergantung di dinding.

Laki-laki itu berjalan sambil mengedarkan pandangan ke seluruh bagian rumah. Menyentuh setiap benda yang pernah disentuh mantan istrinya. Langkahnya terhenti di ruang makan yang langsung terhubung dengan dapur. Kenangan di mana ia selalu melihat Eva yang sibuk setiap paginya melintas. Wanita itu akan memeriksa setiap piring dan memastikan suami serta anak-anaknya makan dengan nyaman.

"Va ...."

***

Eva menatap puas ke meja makan. Beberapa makanan hasil olahannya sudah ditata ke wadah-wadah kecil. Ia mantap merintis usaha ini. Sebagai langkah awal, berkeliling komplek untuk menawarkan dagangan sepertinya bukan ide yang buruk.

Sengaja ia pergi berkeliling ketika ketiga anaknya sekolah. Ia ingin sudah ada di rumah saat mereka kembali. Eva tak ingin apa yang dilakukannya sekarang membuat anak-anak merasa kurang diperhatikan.

Tanpa rasa malu, ia berkeliling kompleks. Ia sibuk mencari di mana orang-orang berkumpul. Kompleks perumahannya lumayan sepi, mengingat terletak di lingkungan yang lumayan elit.

Tentang Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang