26

7.1K 836 99
                                    

Ibram
Aku ke rumahmu ya, Va.
Boleh?

Begitulah bunyi pesan terakhir yang Ibram kirimkan padanya. Awalnya laki-laki itu mengirimkan beberapa foto jadul yang masih disimpannya dengan sangat baik. Eva dibuat senang bukan main. Bagaimana mungkin Ibram masih menyimpan foto-foto itu? Dan ... foto dari beberapa benda yang pernah diberikannya pada laki-laki itu. Ada beberapa komik, sebuah pulpen serta ... plester luka dengan secarik kertas catatan yang ditulisnya saat itu.

Eva tersenyum melihat foto-foto yang kini menghuni galeri ponselnya. Ibu jarinya menggulir layar dan mengamati foto itu satu per satu. Usapan berhenti saat layar menampilkan foto sebungkus plester luka. Wanita itu benar-benar merasa bersalah mengingat apa yang terjadi dulu. Gara-gara bertindak begitu keras kepala, ia membuat Ibram terluka. Namun, kenapa Ibram masih menyimpan plester luka itu sampai sekarang? Mungkinkah laki-laki itu tak pernah menggunakannya?

Eva
Boleh.
Ada request khusus?
Kamu mau makan apa, gitu?
Biar aku siapin.

Tak perlu menunggu lama. Balasan pun diterima. Ibram akan sampai dalam setengah jam ke depan. Meskipun sahabat kecilnya itu tak punya permintaan khusus, Eva dibuat cukup kelabakan. Gegas ia pergi ke dapur, memeriksa apa yang dipunya. Wanita itu mengintip isi lemari es. Hanya ada puding susu sisa kemarin. Masih sangat layak untuk dihidangkan. Sebotol sirup markisa pun turut serta dikeluarkan. Kebetulan cuaca lumayan panas. Sepotong puding susu dinikmati dengan segelas es sirup markisa akan menjadi perpaduan yang pas untuk menghalau panas.

Bersamaan dengan selesainya katering makan siang, masih ada sisa makanan. Eva meminta Mbak Marni untuk menghidangkan makanan di meja makan. Wanita itu menambahkan telur dadar yang ditambah irisan bawang merah super banyak. Ia teringat kenangan masa lalu di mana Ibram yang malas makan akan mendadak lahap setiap kali ibunya membuatkan telur dadar untuknya.

Yang lain sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk menu katering makan malam. Eva berpapasan dengan Pak Rahmat. Laki-laki paruh baya itu mengabarkan kedatangan tamunya. Ibram masih menunggu di teras rumah.

"Pak, tamunya tolong disuruh masuk. Saya mau ganti baju dulu," pesan Eva. Pak Rahmat pun mengangguk.

Ibram tak datang seorang diri. Di dekatnya ada seorang gadis cilik-kurang lebih seusia dengan Sagara menunggu di ruang tamu. Pasti itu yang namanya Naura. Putri semata wayang Ibram sangatlah cantik. Mewarisi hidung mancung dan bentuk mata yang bulat dari laki-laki itu. Sisanya, Eva yakin didapat Naura dari mendiang ibunya.

Belum sempat menyapa, Eva justru mendapatkan bingkisan dari Naura. Gadis kecil itu menyerahkan plastik tentengan berisikan dua kotak kue dari bakery ternama. Eva tersenyum lembut seraya membelai rambut hitam legam sepundak milik Naura yang dibiarkan tergerai bebas.

"Ini pasti yang namanya Naura," ucap Eva lembut. Naura mengagguk. Wanita itu mengajak putri Ibram duduk di dekatnya. "Akhirnya kita ketemu juga. Tante senang kamu main ke sini. Tante punya anak perempuan juga. Namanya Terra. Tapi, masih pergi sama kakak-kakaknya. Kebetulan ada pasar kaget setiap hari Minggu. Naura kelas berapa?"

"Kelas 8, Tante," jawab Naura sopan.

Eva memuji anak itu dalam hati. Walaupun tak pernah mengenal sosok seorang ibu di hidupnya, anak itu tumbuh dengan sangat baik. Ibram berhasil melakukan tugasnya, meskipun harus berjuang menjadi orang tua tunggal. Menjadi ayah tunggal dan membesarkan seorang putri tentu bukan hal yang mudah. Pasti ada batasan-batasan yang tak bisa Ibram lalui.

"Kamu seumuran sama anak Tante yang kedua. Namanya Sagara. Nanti Tante kenalin ke mereka, ya. Semoga kalian bisa berteman baik."

***

Tentang Sebuah KisahKde žijí příběhy. Začni objevovat