25

7.3K 868 102
                                    

ALOHAAAAA.

MON MAAP KALO ADA TYPO, YESSSS.

YOK YANG BELOM FOLLOW AYOK DIFOLLOW.

"Maaf. Aku nggak bisa, Bu."

Dengan sangat menyesal, Eva tak bisa memenuhi permintaan sang mantan ibu mertua. Permintaan itu tak masuk di akal. Sumpah demi apapun ia akan memenuhi, kecuali yang satu itu. Kehidupannya dan ketiga anaknya pernah berada di ambang kehancuran. Kembali merajut rumah tangga yang sudah terlanjur hancur bersama Tama? Bermimpi pun rasanya tak akan pernah.

Titik-titik air mata yang menetes dari sudut mata Lastri diusapnya dengan selembar tisu. Mantan ibu mertuanya masih terus menangis, tak peduli seberapa sering Eva mengeringkan jejak-jejak bulir bening. Wanita itu kembali menggenggam tangan Lastri. Ditatapnya wanita yang melahirkan Tama itu dengan tatapan teduh. Andai lima belas tahun yang lalu Lastri sebaik ini, mungkin Eva akan menjadi menantu paling bahagia di dunia. Ia menghela napas, manakala mengingat kalau semua yang sudah terjadi tak akan bisa terulang kembali.

Eva memijit lembut jari-jemari Lastri dan sesekali mengecupnya. Tama masih ada di ruangan yang sama, meskipun berpindah duduk. Laki-laki itu masih setia mendampingi sang Ibu. Tama memang pernah menjadi bajingan. Laki-laki itu menodai bahtera suci pernikahan yang dibina lima belas tahun lamanya. Ia juga pernah mengabaikan anak-anak karena saking mabuk cintanya dengan si pujaan hati. Namun, satu hal yang harus Eva akui adalah ... mantan suaminya sangat berbakti pada kedua orang tuanya, terutama sang Ibu. Pernah begitu mengecewakan—saat bersikeras untuk menikah saat itu membuat laki-laki itu tak ingin lagi menyakiti perasaan wanita yang telah melahirkannya.

Dari tiga anak, Tama-lah yang paling menujukkan perhatian. Kedua saudarinya hanya datang sesekali. Sibuk mengurus ini, mengurus itu dan entah apalagi alasan yang dibuat. Entah sudah berapa banyak uang yang dikeluarkan Tama selama Lastri berada dalam perawatan. Laki-laki itu memastikan perawatan terbaik untuk sang Ibu.

"Bu, aku minta maaf," ucap Eva membuka suara. Suasana hening seketika. Tangannya masih setia memijit jari-jari Lastri. Berharap pijitan itu bisa sedikit membantu menstimulasi perbaikan syaraf. "Apapun permintaan Ibu, aku bisa penuhi. Kecuali yang satu itu. Aku nggak bisa kembali sama Tama. Sekarang, kami sudah punya kehidupan masing-masing. Aku sudah bahagia sama anak-anak, sementara Tama juga sudah punya kehidupannya sendiri." Lastri memperhatikan, meskipun tatapannya lurus ke langit-langit kamar. "Tapi, Ibu jangan khawatir. Meskipun aku dan Tama sudah berakhir, aku tetap anaknya Ibu. Nggak ada yang berubah. Aku senang Ibu nggak menolak kedatanganku di rumah ini."

Lastri mengangguk lemah beberapa kali. Kedua matanya memejam untuk sesaat dan kembali terbuka. Ibu jarinya mengusap lembut telapak tangan Eva. Mulut Lastri mengucapkan sebuah kalimat tanpa suara. Eva mendekatkan telinganya tepat di dekat mulut mantan wanita itu.

"Ibu ngantuk?" ucap Eva. Lastri mengangguk lemah. "Mau tidur?"

Ibu dari Tama itu kembali mengangguk. Eva sigap membenahi selimut dan memastikan kenyamanan sang mantan mertua sebelum tidur. Tombol bel pun diletakkan dekat tangan Lastri. Lampu kamar sedikit diredupkan. Setelahnya, ia, Tama dan Susilo pun meninggalkan kamar.

Eva melirik jam dinding. Hari sudah semakin malam. Wanita itu melihat putra sulung dan dua anaknya yang lain masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV. Untung besok akhir pekan, jadi tak masalah kalaupun mereka tidur larut.

"Abang, sudah telepon Pak Rahmat?" tanya Eva. Samudera menggeleng. "Telepon Pak Rahmat. Minta jemput sekarang, ya."

"Iya, Bunda." Samudera hendak menelepon supir keluarga mereka, tapi suara Tama menghentikannya.

Tentang Sebuah KisahWhere stories live. Discover now