28

6.6K 775 34
                                    

Sudah tau kan kalo bab 27 direvisi?
Dibaca dulu. Biar nggak bingung baca bab ini.
Jangan lupa tap lovenya.

Laki-laki dewasa itu yang dipegang ucapannya. Ya, Ibram membuktikan kata-katanya. Ia memang tak pernah memaksa Eva. Pun membahas apa yang pernah mereka bicarakan hari itu. Duda satu anak itu takut jika terus memaksa, justru akan menambah sakit hati akibat trauma di hati Eva. Melihat wanita itu masih menerima dan mengizinkannya berkunjung ke rumah saja sudah menjadi hal sangat baik bagi Ibram. Eva memang kerap kali menghindar darinya, menolak bertemu dan meminta Samudera atau Sagara untuk menemani laki-laki itu.

Ibram memang sangat senang bisa kembali bertemu dengan sahabat yang sekaligus menjadi cinta pertamanya itu. Dulu, ia tak pernah bisa mengutarakan perasaannya, bahkan sampai hari di mana ia harus meninggalkan tanah air karena ikut kedua orang tuanya. Saat ada kesempatan sebentar untuk pulang ke Indonesia pun, ia tak menyia-nyiakannya. Ibram bertekat untuk menyatakan semuanya pada Eva. Namun, yang dicari tak ada. Eva pindah dan ia pun kehilangan jejak.

Itu kenapa Ibram tak ingin kehilangan kesempatan untuk kali kedua. Eva adalah sosok wanita yang berhasil memikat hatinya, meskipun sejak keduanya masih muda. Ia tak pernah marah saat wanita itu meledek penampilannya, terlebih gaya rambutnya dengan styling gel super banyak. Bahkan, Ibram sengaja menata rambutnya aneh untuk mendapatkan perhatian Eva.

"Bram, ganti gayamu. Nanti nggak ada yang suka sama kamu, lho."

Tiap kali mengingat, ia akan tersenyum. Tak sulit baginya untuk mendapatkan perhatian Eva kala itu. Keduanya memang sangat dekat. Bahkan, bisa dibilang kalau Eva lebih dekat dengan dirinya dibanding kakaknya sendiri—Arjuna.

Hampir tiga bulan ini ia berusaha. Tak merasa bosan sama sekali, justru rasa cintanya pada Eva semakin bertambah dari hari ke hari. Ibram ingin membantu Eva keluar dari bayang-bayang masa lalunya yang pahit.

Hari ini, Ibram sengaja menunggu Samudera di gerbang sekolah. Ia pikir anak sulung Eva itu bisa membantunya. Cukup lama ia menunggu, sampai akhirnya remaja itu muncul dengan sepedanya.

"Abang," panggil Ibram. Samudera yang sudah duduk di sadel sepedanya dan bersiap untuk menggowes pun mencari asal suara.

"Om kok ada di sini? Kenapa nggak langsung di rumah? Bunda kan ada di rumah," ucap Samudera.

"Om bisa ngobrol sebentar sama Abang?" tanya Ibram. Besar harapannya agar remaja itu mengiyakan permintaannya. Samudera terlihat berpikir sejenak. Namun, Ibram merasa lega karena akhirnya ia mendapat anggukan. "Terima kasih ya, Bang."

Sebuah kafe dengan jarak tak lebih dari 200 meter dari kompleks perumahan menjadi pilihan. Suasananya pun mendukung, tak terlalu ramai. Perbincangan keduanya akan sangat serius.

Semua pesanan sudah diantar. Samudera memesan segelas es kocok cokelat dan seporsi nasi goreng. Berbeda dengan Ibram. Laki-laki itu memesan secangkir kopi dan seporsi mac and cheese.

"Om mau ngomong apa?" ucap Samudera. Baru saja ia memasukkan sesendok penuh nasi goreng dengans epotong timun ke mulutnya. Masih dalam keadaan mengunyah, ia kembali berucap, "Ada yang penting, Om?"

"Bang, Om ajak Abang ngobrol karena Abang anak Bunda yang paling tua. Om harap, Abang bisa bantu Om." Ibram menghela napas. Ia bingung bagaimana harus memulai. Mungkinkah remaja yang duduk di depannya—dengan sebutir nasi di sudut mulutnya bisa mengerti?

Ibram menceritakan yang menjadi ganjalan di hatinya pada Samudera. Soal persahabatannya dengan Eva, soal kenyataan kalau wanita itu adalah cinta pertamanya dan soal pernyataannya sepulangnya dari pemakaman. Semua diceritakan, sampai tak ada satu pun yang terlewat. Samudera terlihat begitu memperhatikan. Bahkan, ia pun menghentikan makannya.

Tentang Sebuah KisahWhere stories live. Discover now