19

6.1K 763 37
                                    

Merintis sebuah usaha dari nol memang sangat berat. Eva akui itu. Di awal, wanita itu merelakan makanan-makanan buatannya dan keliling kompleks dari pintu ke pintu untuk menawarkan, tapi tak ada satu pun yang memesan. Padahal, makanan habis dicicipi. Pernah terbesit untuk menyerah saja, dan terpaksa mengandalkan uang bulanan yang dikirimkan sang mantan suami untuk anak-anaknya. Yang penting urusan sekolah ketiga anaknya aman.

Di saat asa sudah hampir surut, titik terang datang. Pesanan pertama diterima, dalam jumlah yang lumayan besar pula. Dari sana, Tuhan membuka lebar pintu rezekinya. Pesanan demi pesanan mulai berdatangan dan menambah jam terbang usahanya.

Memulai semua dengan tenaga seadanya. Merasa kewalahan, pasti. Terutama saat ada banyak pesanan yang masuk. Beruntung, saat ini Eva sudah bisa mempekerjakan satu ART baru untuk membantu tugas Mbak Maryam dan dua orang ibu dari perkampungan yang letaknya tak jauh dari kompleks perumahan.

Eva bersykur karena usaha yang dijalankannya dapat membantu para pegawainya memenuhi kebutuhan hidup, terutama Bu Siti dan Bu Minah. Tenaga mereka memang biasa dipakai untuk rewang tiap kali ada yang menyelenggarakan pesta hajat. Namun, mereka hanya akan menganggur kalau sedang tidak ada pekerjaan. Setiap kali mendapatkan hasil keuntungan yang lumayan, Eva tak akan pernah lupa untuk menyisihkan sebagian untuk dibagi rata dengan semua pegawainya.

"Ibu, terima kasih banyak kita sudah dikasih kerjaan di sini," ucap Bu Siti. Wanita itu masih ada hubungan keluarga dengan Pak RT. Ia merasa sangat bersyukur karena tawaran pekerjaan datang saat dirinya seudah menganggur lumayan lama. "Berkat Bu Eva, saya bisa gajian setiap bulannya. Anak-anak juga masih pada sekolah. Masih pada butuh biaya. Ngandelin pendapatan suami dari ngurut nggak cukup."

"Saya juga, Bu," timpal Bu Minah. "Udah digaji, setiap pulang masih bawa makanan. Terima kasih banyak ya, Ibu."

"Sama-sama, Bu. Saya kan juga sudah dibantu. Kalau ada uneg-uneg yang sekiranya jadi ganjalan selama kerja di sini, tolong disampaikan ya, Bu. Saya mau Bu Siti dan Bu Minah kerja di sini dengan nyaman, jadi bisa betah. Kebetulan saya cocok dengan cara kerja kalian berdua."

"Alhamdulillah, Bu. Kita nyaman banget kerja sama Ibu. Kita berdua sudah keluar dari grup masak hajatan kita."

"Semoga usaha ini semakin besar ke depannya. Tapi, nanti tolong bantu saya untuk cari tenaga untuk bantu-bantu kalau dibutuhkan ya, Bu."

Ponsel Eva berdering. Telepon dari salah seorang tetangganya yang memang kebetulan menjadi langganan katering, Bu Baskoro. Ada apa? Apa mungkin ada keluhan katering?

"Halo, Bu."

"Mbak Eva, lagi sibuk nggak?"

"Kebetulan lagi santai baru selesai siap-siap untuk masak katering makan malam. Ada apa ya, Bu? Ada keluhan soal katering, ya?" tanya Eva penasaran.

"Begini lho, Mbak Eva. Perusahaan tempat saya kerja mau ngadain acara ulang perusahaan. Nah, teman-teman sih bilangnya bosan sama katering yang biasanya. Mau makanan yang agak beda, katanya. Saya ngajuin kateringnya Mbak Eva untuk acara nanti. Nasi kotak gitu lho, Mbak. Bos juga sudah setuju. Mbak Eva bisa bantu?"

"Insha Allah bisa, Bu. Kira-kira untuk kapan ya, Bu?" tanya Eva. Ia harus memastikan kalau semua pesanan bisa dipegang nantinya. "Jumlah keseluruhannya berapa kira-kira, Bu?"

"Acaranya sih masih bulan depak. Untuk jumlahnya kayaknya sekitar 500 kotak, soalnya ada karyawan dari cabang lain juga yang diundang ke kantor pusat. Gimana, Mbak?"

Eva berpikir sejenak. Ini jelas pesanan besar. Sangat besar. Biasanya, 50 nasi kotak saja sudah membuatnya sangat senang bersyukur. Apakah ia bisa menyanggupinya?

Tentang Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang