9

6.5K 759 56
                                    

Eva menunggu dengan cemas di depan sebuah ruang praktik psikolog. Hari ini adalah hari pertama Samudera menghadiri sesi konsultasinya. Dari perbincangan sebelumnya, putranya akan melewati beberapa kali sesi konsultasi. Ia sungguh berharap kalau upaya yang sedang dilakukannya dapat membawa kembali sosok Samudera yang dirindukan semua orang.

Konsultasi selesai. Eva dipersilakan masuk. Samudera lebih memilih untuk menunggu di luar, sementara sang Bunda berbincang dengan sang psikolog anak dan remaja—Bu Tiffany.

"Sementara ini, kami lebih banyak berbincang. Saya berusaha untuk lebih mengenal sifat dan karakter Samudera. Sejauh ini, kesimpulan saya dia anak yang baik. Apa yang terjadi kemungkinan besar karena dmpak perubahan kondisi sekeliling yang terjadi begitu tiba-tiba. Kita sebagai orang dewasa hanya perlu untuk lebih sering bertanya. Sebenarnya tidak sulit untuk membuat Samudera bercerita. Saya coba pancing dia dengan bertanya soal sekolahnya, dia menjawab dengan dilihatin baik."

"Apa prosesnya akan lama, Bu?" tanya Eva. Ibu Tiffany tersenyum. "Saya takut anak saya menjadi pribadi yang jauh berbeda."

"Ibu tenang. Samudera sangat kooperatif di pertemuan pertama. Saya akan membantu sebaik yang saya bisa. Kita harus sabar menghadapi remaja yang emosinya mudah meletup."

Tangannya tak pernah terlepas menggandeng tangan sang putra saat meninggalkan tempat konsultasi. Beruntung, remaja itu tak menolak. Eva bertekad dalam hati untuk lebih memperhatikan anak-anaknya, terutama Samudera. Anak itu menyaksikan sendiri kelakukan Tama malam itu. Tak heran kalau rasa bencinya pada sang ayah teramat besar.

"Abang senag ngobrol sama Bu Tiffany?" tanya Eva berbasa-basi. Samudera mengangguk. "Bu Tifanny bilang ke Bunda kalau Abang kooperatif selama sesi berjalan. Bunda bangga sama Abang. Ngomong-ngomong, Abang sudah punya pacar belum, sih?"

"Ih, Bunda apaan, sih?" sahut Samudera tersipu.

"Mukanya kok langsung merah?" goda Eva seraya mencubit lembut pipi putra sulungnya. "Sudah punya, ya?"

"Bunda, malu orang. Aku kan sudah besar." Samudera melepas tangannya yang tertaut dengan tangan sang Bunda. Ia pun gegas melangkah menghampiri di mana Pak Rahmat menunggu.

"Abang! Tunggu Bunda. Masak gitu aja ngambek," ucap Eva terkekeh.

Eva tersenyum. Menyaksikan senyuman yang tercipta di bibir putranya menjadi hal terbaik baginya saat ini. Senyuman itu harus tetap ada. Sampai kapan pun.

"Bunda, cepat! Bunda janji mau traktir aku makan burger," ucap Samudera. Eva mengangguk. "Ayo, Bunda. Aku lapar banget."

"Iya, Abang."

***

Pesanan pertamanya berhasil diselesaikan. Sebenarnya, Eva ingin langsung pulang setelah mengantar pesanan. Namun, Bu Fatma selaku nyonya rumah memintanya untuk tinggal. Eva merasa tak enak hati ikut berkumpul dengan mereka mengingat dirinya sudah bukan lagi bagian dari perkumpulan itu.

Ia lebih memilih untuk tetap di dapur selama acara berlangsung. Berbincang dengan para asisten rumah tangga dan meminta mereka untuk memastikan meja makan tak kosong. Awalnya, para ART merasa sungkan bicara dengannya karena yang mereka tahu Eva adalah teman dari majikan mereka.

"Santai aja, Mbak. Saya lebih nyaman di sini dan berbincang dengan kalian. Terima kasih karena sudah bantu selama acara berlangsung, ya."

"Va, sini," ucap Bu Fatma. Nyonya rumah itu baru saja menghampirinya ke dapur. "Kumpul dulu sama yang lainnya sebelum pada pulang. Beberapa yang nggak ikut ke rumah kamu katanya kangen."

"Baik, Bu."

Selama tergabung di perkumpulan itu, ia memang dikenal sebagai pribadi yang baik. Tak pernah sekalipun bermasalah dengan yang lainnya, apalagi membentuk circle terntentu. Eva pintar membaur dengan siapapun, maka tak heran kalau dirinya banyak disukai banyak orang. Kabar perceraiannya dengan Tama membuat semua orang merasa sedih, apalagi saat dirinya berpamitan untuk keluar dari perkumpulan.

Tentang Sebuah KisahWhere stories live. Discover now