22

6.6K 865 142
                                    

"Kamu ke mana aja selama ini, Bram?"

Wanita itu masih tak percaya karena setelah lama waktu berlalu ia dipertemukan kembali dengan laki-laki berpostur tinggi yang kini duduk di hadapannya. Satu lesung pipi yang bertengger manis di pipi kanannya selalu menjadi favorit Eva. Waktu merubah semuanya. Seorang Ibram Admajaya yang dikenalnya sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa pemimpin sebuah perusahaan konstruksi.

Ibram benar-benar telah banyak berubah. Tak ada lagi gaya rambut aneh dengan styling cream melimpah yang selalu membuat Eva tak berhenti mencibirnya. Tak ada lagi kacamata norak berbingkai tebal yang bertengger di hidung mancungnya. Kini, rambutnya tertata rapih dengan gaya rambut pria dewasa terkini, meskipun masih dengan styling cream. Kacamata tebal itu juga sudah digantikan dengan kacamata model metal round berbingkai emas.

Jelas Eva tak mengenalinya. Perubahannya terlalu signifikan. Berbeda deng dirinya yangmemang tak banyak berubah. Tak heran kalau Ibram masih bisa mengenalinya. Lama berpisah membuat keduanya seperti orang asing yang baru saja dipertemukan.

"Ada," ucap Ibram singkat. Laki-laki itu menyesap dengan perlahan secangkir kopi susu yang dipesannya dari pantry kantor. Ia sangat menantikan pertemuan ini. Sangat. "Kamu apa kabar, Va? Pertanyaanku belum dijawab, lho. Jawab dulu pertanyaanku, setelahnya aku yang gantian jawab pertanyaan kamu."

"Aku baik," sahut Eva. Eva mendengkus kesal. Sepertinya memang hanya penampilannya saja yang berubah. Sifatnya ... tetap saja menjengkelkan. "Kamu nggak pernah ada kabar setelah hari itu."

"Sorry. Kamu kan tau keluargaku pindah karena tuntutan program doktoral yang Bapak ambil. Beliau nggak mau terpisah jarak yang terlalu jauh dengan kami semua. Itu kenapa kami semua diboyong ke Amerika."

"Tapi, aku benar-benar nggak tau kabar kamu sama sekali. Kamu nggak pernah kasih tau rencana kepindahan kamu. Aku pun taunya dari Papa dan Mama. Kok kamu bisa sejahat itu, sih?"

Setiap kali mengingat kenangan hari itu, Eva selalu merasa kecewa. Ibram tak pernah memberitahukan rencana kepindahannya dan keluarga ke luar negeri. Ia kecewa karena harus mengetahuinya dari orang lain, bukan dari mulut laki-laki itu sendiri. Hari itu, hatinya patah. Dipatahkan oleh salah satu orang terdekatnya. Eva mengurung diri di kamarnya sehari sebelum Ibram dan keluarganya berangkat.

"Setelah urusan Bapak di sana selesai, kami kembali ke Indonesia. Tapi, bukan ke Jakarta. Bapak diutus jadi rektor di universitas di luar Jawa. Sampai akhirnya kami menetap di Semarang, kota kelahiran Bapak," jelas Ibram. Eva terlihat begitu memperhatikan. Kamu masih sama, Va. Kayak dulu. "Aku pernah ke Jakarta dan ke rumah kamu, tapi ternyata kamu sudah pindah. Nggak ada yang tau kalian sekeluarga pindah ke mana."

"Dulu, kami ngontrak rumahnya Pak Andreas, Bram. Papa punya rezeki sampai akhirnya bisa beli tanah dan bangun rumah. Memang nggak banyak yang tau ke mana kami pindah, sih."

"Yang penting sekarang kita sudah ketemu lagi," sahut Ibram. Ia kembali menyesap kopi susunya yang tinggal setengah. Tangannya bergerak memilih satu risoles ragout ayam dibandingkan kue-kue lainnya yang tersaji di atas meja. "Diminum dulu, Va."

Keduanya bernostalgia mengenang masa lalu. Hari-hari di mana mereka berangkat dan pulang sekolah bersama, warung nasi Bu Eha—tempat di mana keduanya sering membeli nasi bungkus untuk dijadikan bekal makan siang sampai cerita cinta pertama masing-masing. Tawa renyah terdengar memenuhi ruang kerja Ibram.

"Kamu banyak berubah sekarang, Bram. Aku benar-benar nggah ngeh kalau itu kamu," ungkap Eva. "Gaya kamu berubah drastis."

"Kalau aku masih kayak dulu, siapa yang mau sama aku, Va," seloroh Ibram. Laki-laki itu tertawa dan menampilkan lesung pipi yang dalam di pipinya. "Aku kehilangan jejak kamu. Kamu nggak punya medsos sama sekali. Aneh, deh. Hari gini masih aja nggak punya medsos."

Tentang Sebuah KisahNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ