4

7.1K 859 70
                                    

Hai!

Gimanaaa?

Udah mulai emosi?

Tahan dulu, ih.

Baca part ini dulu.

Huaahahha.

Seisi rumah dibuat panik. Kondisi Eva gawat. Ada perdarahan di jalur lahirnya. Tanpa menghubungi Tama terlebih dulu, seluruh orang yang ada di rumah membawanya ke rumah sakit.

Polihidramnion. Kondisi di mana terdapat kelebihan volume air ketuban dan kondisi janin yang menolak makan serta minum. Eva sempat dirawat semalaman guna observasi dan upaya untuk menghentikan kemungkinan persalinan dini. Tapi, kontraksi yang kuat pun datang. Eva melahirkan. Dokter juga menyatakan kalau bayinya terpapar virus rubella.

Sosok kecil mungil itu tengah berjuang untuk hidup. Ia terpaksa dilahirkan di kehamilan yang baru 20 minggu. Eva harus siap menerima kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Kondisi bayinya terlalu lemah.

Absennya Tama seakan menambah beban pikirannya. Laki-laki itu kembali membuat alasan. Kalau sebelumnya dinas ke Padang, maka kali ini proyek pembangunan jalan layang di Kalimantan yang dijadikannya alasan. Eva sudah tak bisa berharap banyak lagi dari sang suami.

Di atas ranjang rumah sakit, ia hanya bisa diam dan pasrah. Baru beberapa menit yang lalu ia dikabarkan kalau putri kecilnya menyerah dengan perjuangannya. Rasa sedih yang teramat membuat air matanya bosan untuk mengalir.

Ia menatap nanar kedatangan sang suami. Dengan segala macam pertimbangan, akhirnya Eva menghubungi Tama. Wajah Tama tampak diliputi rasa khawatir, sedih dan kecewa yang bercampur menjadi satu.

"Kenapa bisa sampai begini?" Pertanyaan itu sukses menyurut emosi Eva. "Kenapa anak kita bisa meninggal?"

Eva mencoba untuk meredam amarahnya dengan tetap diam. Ingatan akan betapa sakitnya kontraksi dan kehilangan buah hati sama sekali tak dihiraukan. Bisa-bisanya pertanyaan itu dipertanyakan padanya. Dipikir ibu mana yang tak merasa sedih setelah kehilangan anak yang dikandungnya.

"Aku lagi bicara sama kamu!"

Sejurus dengan bentakkan Tama, pintu ruang perawatannya terbuka. Sosok kedua mertua dan dua saudara iparnya muncul. Eva merapal doa dalam hati. Ia memohon agar Tuhan terus menguatkan dirinya. Sesuatu jelas akan segera terjadi. Hubungannya dengan mertua dan para iparnya memang tak sepenuhnya baik. Mungkin jika anak-anaknya tak pernah hadir, perang sengit di antara mereka akan tetap berkobar.

"Kamu tuh ngapain sih sampai anakmu bisa meninggal begitu? Nggak becus banget. Sudah pernah hamil tiga kali kok kayak nggak punya pengalaman sama sekali."

"Memangnya kerjamu apa di rumah, Mbak? Apa kamu dikasih beban kerjaan berat sama kakakku?"

"Hidup sudah enak. Dijadikan ratu sama adikku, tapi masih nggak becus jaga anak. Kalau begini apa kamu nggak ngerasa gimana gitu sudah bikin anak sendiri mati sia-sia?"

Ya Tuhan. Rasanya benar-benar perih. Eva merasa dadanya sesak. Bukan dukungan dan simpati yang dapatnya dari keluarga. Namun, tudingan tajam dan kasar justru dilontarkan padanya.

"Cukup!" teriak Eva kencang. Ia sudah tak mampu lagi menahan beban sakit hatinya. "Cukup. Kalau kedatangan kalian ke sini cuma untuk nyalahin aku atas apa yang terjadi, aku minta kalian keluar dari sini. Anakku nggak bisa kembali lagi."

"Eva!" hardik Tama. "Kamu benar-benar nggak sopan. Ada orang tuaku di sini."

"Kamu juga, Tam. Aku nggak mau lihat kamu ada di sini." Eva menutup kedua matanya dan kembali membaringkan tubuh di atas ranjang.

Tentang Sebuah KisahWhere stories live. Discover now