20

7.2K 853 102
                                    

Eva balikan apa nggak ya sama Tama?

kalo balikan gimana?

Boleh?

Huahahahahha

Ayooo kurang baik gimana lagi nih akuuu.

Sehari update tiga kali.

Masih nggak mau follow AUTHORnyaaaaa?

Hellooooooooo

Tubuhnya terasa begitu pegal. Sofa tak membuat tidurnya nyaman beberapa hari terakhir ini. Lingkaran hitam di bawah mata menjadi pertanda kalau dirinya memang kurang tidur. Eva harus memastikan putranya minum air yang cukup. Dokter berpesan agar Samudera tidak kekurangan cairan. Ini sudah hari kelima wanita itu bermalam dan menunggui putra sulungnya di rumah sakit.

Hari itu, obat penurun panas yang dibelinya di apotek sama sekali tak memberikan efek. Samudera memang berkeringat banyak setelahnya, tapi tak lama demamnya kembali naik. Eva panik bukan main. Ia tak ingin mengambil resiko. Cukup sekali hatinya teriris merasakan duka yang begitu mendalam karena kehilangan anak. Jangan lagi.

Panas tinggi selama beberapa hari disertai mual muntah yang parah. Sepiring nasi yang Eva sediakan siang itu hanya berkurang beberapa sendok saja. Samudera menolak untuk menghabiskan. Remaja itu juga mengeluhkan nyeri sendi yang teramat. Sakit kepala hebat. Perut melilit di bagian ulu hati dan diare juga turut meramaikan.

Tifus. Itulah hasil pemeriksaan dokter. Akhir-akhir ini, Samudera memang terlalu sibuk dengan kegiatan sekolahnya. Ia banyak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Salah satu pemicu penyakit tifus terpaparnya bakteri salmonella typhi. Bakteri itu hinggap di makanan dan minuman yang akhirnya menyerang usus dan saluran pencernaan.

"Nanti kalau sudah sembuh, Abang jangan makan sembarangan, ya. Bukan maksud Bunda nggak boleh jajan, tapi harus diperhatikan juga kehigienisannya."

Berkumpul dengan teman-teman satu ekskul kadang membuat Samudera makan sembarang makanan. Maklum asyik berkumpul kadang tak peduli dengan kebersihan makanan. Yang penting menjunjung kebersamaan dan perut pun kenyang.

Keadaannya sudah semakin membaik. Namun, dokter masih meminta Samudera untuk menginap sampai kondisinya benar-benar pulih. Selama dirawat, bagian gizi rumah sakit pun hanya memperbolehkannya untuk mengonsumsi makanan dengan tekstur lembut dan lunak.

"Bunda, mau nasi Padang. Bosan makan bubur terus," rengeknya pada sang Bunda. Jatah makan malam baru baru saja dikirimkan ke kamar rawatnya. Seperti biasa, ada seporsi bubur yang diharapkan harus dihabiskan. Ada satu bulatan yang terbuat dari daging sapi giling disiram saus manis, tahu putih kukus, tumisan sayur dan satu buah pisang Ambon. Lauk-pauk pendamping seenak apapun tetap saja tidak terasa nikmat di lidah remaja itu. "Bunda ...."

"Abang, dokter bilang masih harus makan yang lembek. Percernaan Abang masih dalam proses penyembuhan. Sabar dulu."

"Tapi, bosan." Samudera kembali merengek. Eva menyodorkan sesendok bubur nasi. Mau tak mau, ia pun tetap memakannya. "Mau nasi Padang."

"Masakan Padang itu kan hampir semua dimasak pakai santan, pedas dan juga berminyak. Bunda nggak mau diomelin dokter. Nanti kalau Abang sakit lagi, Bunda yang disalahin dokternya." Sambil mengomel, wanita itu masih setia menyiapkan suapan selanjutnya. Sesendok bubur ditambah saus manis dan secuil tahu kukus siap diarahkan ke mulut putranya. "Makan yang sudah disiapin dulu. Kalau Abang sudah benar-benar sehat, Bunda janji beliin apapun yang Abang mau."

Selama dirinya di rumah sakit, urusan katering diserahkan sepenuhnya pada Mbak Maryam. Mempekerjakan wanita itu selama lebih dari 10 tahun lamanya membuat Eva mengenal rasa makanan buatan Mbak Maryam. Masakannya cocok dengan selera lidahnya. Jadi, Eva tak perlu khawatir. Bahkan, Mbak Maryam pernah mengajarkannya beberapa resep andalan warisan keluarganya di kampung halaman yang berujung menjadi makanan favorit keluarga.

Tentang Sebuah KisahWhere stories live. Discover now