24

6.4K 886 99
                                    

Setelah sekian lama, ia kembali menginjakkan kedua kakinya di rumah ini. Saat masih menyandang status menantu pun, kunjungannya ke sini bisa dihitung dengan jari. Eva tak pernah merasakan hubungan harmonis dengan ibu mertua dan ipar-iparnya. Tak pernah ada yang namanya sesi khusus menghabiskan waktu antara menantu, mertua dan saudara ipar. Lima belas tahun menjalani biduk rumah tangga bersama Tama, keberadaannya seringkali tak dianggap.

Rumah ini masih sama seperti yang terakhir dilihatnya. Sebuah foto dengan seluruh anggota keluarga yang diambil saat dirinya masih menjadi istri Tama pun masih bertengger di dinding ruang tamu. Saat itu, semuanya tersenyum bahagia, termasuk dirinya. Bukan sekedar senyuman pura-pura. Eva benar-benar bahagia, saat itu.

Budhe Atik—asisten rumah tangga segera mempersilakannya dan anak-anak masuk ke kamar mantan ibu mertuanya. Ke mana perginya wanita egois yang biasanya selalu menghina dirinya? Ke mana perginya sosok ibu mertua yang tak pernah menganggapnya sebagai menantu? Yang dilihatnya kini hanya sosok lemah tergeepar di atas ranjang.

"Va ...." Susilo menyapa saat menyadari kedatangan Eva dan ketiga anaknya. "Sudah datang?"

Wanita itu mengangguk seraya tersenyum. Bergantian, ia dan anak-anak pun mengecup punggung tangan Susilo. Tercetak raut bahagia di wajah keriput Susilo saat melihat cucu-cucunya datang berkunjung. Sejak resmi bercerai, mereka memang tak pernah lagi datang ke rumah ini.

"Ibu kenapa, Pak?" tanya Eva prihatin. Matanya menangkap keadaan Lastri yang begitu memprihatinkan. Bobot tubuhnya turun banyak. Pun terlihat semakin menua. "Ibu sakit apa?"

"Ibu jatuh di kamar mandi dua bulan yang lalu. Ada pendarahan di otak. Sudah dioperasi dan sempat penurunan kesadaran. Sekarang ya begini keadaannya. Cuma bisa kedip dan ngangguk setiap diajak komunikasi." Susilo menggenggam erat tangan Lastri yang masih tertidur. Bagaimana pun buruk tabiat sang istri, laki-laki itu tak pernah sekali pun meninggalkan. "Terima kasih sudah mau datang."

"Kenapa nggak ada yang kasih tau kami, Pak?" tanya Eva. Terdengar nada kekecewaan di dalamnya. "Siapa yang selama ini jaga Ibu?"

"Bapak nggak enak sama kamu. Selama ini, Ibu nggak pernah baik ke kamu." Sahut Susilo. Eva menggeleng. "Tama yang urus semuanya. Dia menyewa jasa perawat untuk jaga Ibu. Kebetulan hari ini perawatnya minta libur. Dokter bilang kalau peluang sembuh itu ada, tapi memang lama. Ibu masih rutin fisioterapi." Susilo menunjuk sebuah bola terapi di atas nakas. "Setiap hari dilatih pegang bola itu. Lumayan kemajuannya. Sudah bisa gerakkin tangan."

"Syukurlah kalau begitu, Pak."

"Bapak minta maaf atas nama Ibu."

Kelopak mata Lastri bergerak dan perlahan terbuka. Wanita itu menatap sayu ke arah Eva dan ketiga cucunya. Eva meminta anak-anak untuk mendekat.

"Salim Nenek dulu. Nenek kangen sama kalian," ucap Eva. Samudera, Sagara dan Terra bergantian mencium punggung tangan Lastri. "Ibu gimana keadaannya?"

Lastri tak menjawab dengan perkataan. Kedua matanya berkedip pelan sebagai bentuk dari respons pertanyaan yang Eva berikan. Seberkas senyuman terbit di bibirnya yang kering dengan kulit yang hampir mengelupas.

Eva mengusap-usap lembut tangan Lastri. Mantan Ibu mertuanya itu menatap nanar langit-langit kamar. Pembedahan di area leher sepertinya membuat Lastri kesulitan berbicara. Ada lubang yang dihubungkan dengan tabung oksigen di sebelah tempat tidur.

"Ibu haus?" ucap Eva. Lastri menjawabnya dengan sebuah anggukkan lemah. "Sebentar, ya."

Eva meraih segelas air putih. Ujung sedotan diarahkan ke mulut Lastri. Wanita itu menyedotnya perlahan.

"Bunda, Nenek sakit apa?" celetuk Terra pelan. "Nenek nggak bisa ngomong, ya?"

"Adek doain aja supaya Nenek bisa cepat sembuh, ya. Kalian harus sering ke sini tengok Nenek. Nenek senang banget ketemu sama kalian semua."

Tentang Sebuah KisahWhere stories live. Discover now