5

7.7K 818 50
                                    

Rasa sakit karena pengkhianatan, dibohongi dan kelihangan putri tercinta yang hanya bisa ditemuinya sebentar membuat Eva mantap untuk mengakhiri pernikahannya dengan Tama. Mahligai yang sudah dibangun 15 tahun lamanya itu sudah tak bisa lagi diselamatkan. Kalaupun tetap memaksa untuk selamat, pasti akan ada yang tersakiti. Bahkan, jauh lebih sakit dari sebelumnya.

Berkonsultasi dengan pengacara sudah dilakukannya. Perselingkuhan dijadikan materi utama gugatan. Pengacara yang ia tunjuk pun sudah menyetirkan berkas ke pengadilan agama.

"Va, apa nggak lebih baik kalau kamu ikut Papa dan Mama pulang ke rumah kita?" tanya Budiman. Eva menggeleng. "Kamu mau tetap tinggal di sini?"

"Nggak, Pa. Aku dan anak-anak akan tetap tinggal di sini. Kami akan sering main ke sana. Papa dan Mama jangan khawatir."

"Apa nggak akan jadi masalah kalau kamu tetap di sini?" ucap Rianti. "Mama takut keluarganya Tama akan ganggu dan usir kamu serta anak-anak dari sini."

"Rumah ini punyaku, walaupun memang Tama yang beli. Surat-suratnya atas namaku. Mereka nggak berhak usir aku dari sini, meskipun nggak senang sekalipun. Aku sudah minta Mbak Mar ambil surat rumah ini di lemari waktu itu."

Kini, ketiga anak-anaknya yang menjadi prioritas utamanya. Perpisahannya dengan Tama pasti akan menjadi sebuah trauma mendalam bagi mereka, terutama Samudera. Putra sulungnya menyaksikan kebiadaban ayah kandungnya dengan mata kepalanya sendiri.

Eva sama sekali tak memikirkan tentang harta gono-gini. Baginya, itu sama sekali tak penting. Mendapatkan hak asuh atas ketiga anaknya lah yang akan ia perjuangkan mati-matian.

"Apa-apaan ini?" teriak Tama lantang saat memasuki rumah. Eva dan ketiga anaknya terperanjat kaget karena saking terkejutnya. Tama baru saja melemparkan sebuah amplop ke atas meja. "Apa maksud semua ini, Va? Jawab aku!"

"Kalian naik ke atas dulu, ya. Bunda mau bicara sama Ayah." Eva memastikan ketiga anaknya sudah benar-benar naik ke lantai atas. Ia tak ingin perdebatan yang tercipta di antara dirinya dan sang suami menambah luka di hati ketiganya. "Kamu kenapa, sih? Datang-datang langsung marah kayak begini? Kamu sudah baca belum isi amplopnya?"

"Karena itu aku tanya kamu. Batalkan gugatan kamu. Sampai kapan pun aku nggak aka ceraikan kamu."

"Terserah!" pekik Eva keras. Rahangnya mengeras. "Just let me go, Tam. Kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau setelahnya. Tanpa harus ngumpet-ngumpet dan menumbalkan aku serta anak-anak. Aku sudah bilang di hadapan orang tua kita. Aku sudah nggak sanggup hidup sama kamu."

Napas Eva terengah. Dadanya terasa begitu sesak dengan beban berat yang menggunung. Wanita itu hanya ingin segera terlepas dari belenggu yang Tama buat.

"Kita bisa coba lagi," ucap Tama. Nada bicaranya melemah. "Aku janji apa yang terjadi sebelumnya nggak akan terulang lagi. Please."

"Coba lagi?" sahut Eva. Tama mengangguk. "Nyawa siapa lagi yang akan hilang nantinya? Apa kepergian Ayyara nggak cukup? Kalau saja kamu nggak bohong, mungkin dia masih ada di perutku. Pulang lah, Tam. Aku nggak akan menuntut apa-apa ke kamu."

"Aku nggak bisa."

"Jangan kamu paksa piring yang pecah untuk kembali sempurna lagi karena itu sama sekali nggak mungkin. Kalau kamu nggak mau datang ke sidang, itu nggak apa-apa. Aku juga akan tolak usulan mediasinya. Aku mau semuanya cepat selesai."

Eva berjengit saat lagi-lagi Tama bersujud di kedua kakinya. Laki-laki itu menangis tersedu. Air mata itu sama sekali tak bisa mempengaruhinya. Apa yang sudah terjadi selama ini membuat air matanya mengering.

Diusapnya kedua lutut Eva. Tama tak berhenti mengiba, berharap istrinya akan kembali ke pelukannya. Eva melempar tatapan.

"Tolong pikirkan lagi. Aku nggak bisa kehilangan kamu, Va. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu dan anak-anak. Aku cinta kamu."

Tentang Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang