02

9K 1.6K 886
                                    

            Alam tengah tempat manusia hidup disebut bumi. Seribu tahun yang lalu, Arthea tidak terlalu peduli akan tempat ini. Hidupnya sudah mengagumkan dan dia tidak begitu tertarik dengan dunia manusia.

Baginya, alam atas adalah surga yang manusia dambakan. Keinginan yang terpenuhi, ketenangan, dan rasa damai ada dalam diri kita. Tidak ada yang namanya kehidupan dan kematian. Mereka ada dalam wujud terbaik, sehingga tidak pernah menua.

Namun, masing-masing dunia memiliki aturan tersendiri. Begitu juga dengan alam atas. Ketika seorang dewi melakukan kesalahan, hukuman yang diberikan lebih buruk dari neraka.

Arthea tidak pernah lupa bagaimana menderitanya ia ketika dikutuk menjadi monster laut. Jiwanya dibakar, lalu tubuhnya dilempar ke laut timur. Di dasar laut yang gelap, Arthea tidak merasakan hawa dingin. Jiwanya penuh dengan kobaran api.

Butuh waktu seribu tahun untuk memadamkan api yang membakar jiwanya. Dan, setelah penantian panjang yang ia tunggu-tunggu, manusia sialan itu malah mengacaukan semuanya.

"Aku ingin sekali membunuhnya." Arthea bergumam kesal. Dunia manusia sangatlah luas. Ia harus mencari pria yang bahkan tidak ia ingat wajahnya seperti apa. Petunjuk dari Aphelo anak itu tinggal di Kerajaan Slovia.

Dan, setelah Arthea telusuri, Kerajaan Slovia cukup luas. Ada ratusan ribu manusia yang hidup di sana. Benar-benar sial! Sejak kapan mereka menciptakan manusia sebanyak ini?

"Dulu dia pendek, rambutnya hitam, lalu..." Arthea berusaha mengingat ciri-ciri bocah aneh yang jatuh di tengah laut. "Sepertinya saat tumbuh dewasa wajahnya jelek."

Saat jatuh di laut, anak itu sempat sadar. Mata mereka bertatapan sejenak, sebelum akhirnya dia pingsan. Kini, Arthea menyesal, langsung melempar dia ke daratan alih-alih meneliti wajahnya lebih jauh.

"Ck! Untuk apa juga aku menolongnya?"

Dulu, Arthea hidup sebagai monster dengan taring besar. Wajahnya berupa ikan raksasa. Untuk itu, Arthea hanya diam di dasar laut yang tidak bisa dijangkau oleh manusia. Namun, ketika bumi sejajar diantara bulan dan matahari, tubuh Arthea akan berubah menjadi wujud dewi.

Taringnya hilang dan ia perlahan naik ke permukaan. Karena perubahan wujudnya hanya sebentar, Arthea akan diam di permukaan laut sambil menatap ke arah langit. Ia menarik nafas sebanyak yang ia bisa. Jiwanya yang terbakar pun padam sejenak. Untuk itu, Arthea selalu menunggu hari itu datang—biasanya setiap sembilan puluh enam tahun atau seratus tahun sekali.

Dan, di hari itu, pertama kalinya sebuah kapal besar melintas di laut Timur. Arthea terpukau, sehingga mengikuti kapal itu. Ia berenang dengan tubuh dewinya, berandai-andai suatu saat ia akan terbebas dari penderitaan ini. Hanya perlu 10 tahun lagi. Karena ia sudah menjalani semuanya dalam waktu yang lama, 10 tahun lagi bukan apa-apa baginya.

Arthea pun berenang dengan senang. Sampai akhirnya ia mendengar suara teriakan anak yang berusaha mengejar kapal. Kaki kecilnya berusaha menahan gelungan ombak.

Namun, karena ia masih kecil, tubuhnya langsung hilang ditenggelamkan oleh laut.

Entah apa yang ada di otak Arthea saat itu. Ia langsung menyelam, mendekat ke anak kecil yang berusaha keras untuk naik ke permukaan. Tatapan mata mereka bertemu beberapa detik, sebelum tubuhnya jatuh dengan nafas yang sudah menghilang. Tanpa pikir panjang, Arthea menarik anak itu, lalu memberinya hembusan cahaya kehidupan.

Hal seperti itu tidak asing lagi. Dewa dewi dengan kekuatan luar biasa, dapat memberi cahaya kehidupan kepada manusia, dan menunda kematian mereka.

Hari itu, Aphelo tak mempercayai penglihatannya, karena selama ini, Arthea tidak pernah menolong manusia. Ia akan membiarkan kapal yang tenggelam karena badai, lalu menertawakan jasad mereka yang dimakan ikan. Arthea akan berkata, "Itu'kan sudah takdir mereka!" Ia sungguh tidak ingin bersusah payah.

The Legend of Arthea : Punishment and PenanceWhere stories live. Discover now