10

7.9K 1.4K 598
                                    

          Sesampainya di kediaman Marquess Larry, Jenov langsung disambut oleh ayahnya. Pria itu sangat senang, dia bahkan langsung meminta pelayan untuk membereskan semua barang-barang Arthea. Karena hari sudah malam, mereka akan berangkat ke Arenberg pagi-pagi buta.

"Ayah harap Theandra bahagia." Pria itu menepuk ujung kepalanya, "Saat Ibumu meninggal, kau masih sangat kecil. Maaf, kalau ayah belum bisa merawatmu dengan baik." Pria itu tersenyum tipis, "Artheandra harus tahu betapa leganya hati ayahmu kali ini. Tuan Jenov orang yang baik, dia pasti akan membuatmu bahagia."

Arthea menunduk.

"Tidur yang nyenyak," ujarnya, lalu menutup pintu kamar.

Arthea menggigit bibirnya. Entah kenapa dadanya sesak. Ia memalingkan wajah ke jendela. Jika Larry Erburg tahu anak kesayangannya telah meninggal, hatinya akan sangat hancur. Arthea merasa memanfaatkan kebaikan pria itu. Bahkan, hanya untuk sekadar berpura-pura menjadi anak yang baik pun, Arthea tidak bisa.

Ia pun beranjak dari tempat tidur. Sudah cukup lama Arthea tinggal di rumah ini, namun sampai sekarang ia tidak pernah berkeliling. Arthea pun turun ke bawah untuk melihat kenangan masa kecil Artheandra. Banyak lukisan dari anak itu. Sepertinya Larry Erburg sangat menyayangi putri sulungnya.

Arthea pun masuk ke ruang keluarga. Lukisan mendiang Ibu kandungnya ada di sana. Wanita itu memiliki rambut keriting mengembang—mirip sekali dengan rambut Artheandra yang susah diatur. Sepertinya Marquess Larry sangat menyukai wanita ini. Sepengelihatannya, hanya Ibu Artheandra satu-satunya istri yang lukisannya digantung.

"Kau tidak tidur?"

Suara pria.

Arthea menoleh, Jenov de Arenberg berdiri dengan tangan terlipat. Pria itu menyandarkan tubuhnya di pintu, lalu masuk ke ruang keluarga.

"Kau tidur di paviliun?"

Jarak paviliun bersebrangan dengan ruang keluarga.

Jenov mengangguk, "Aku tidak bisa tidur karena suara air." Pria itu menatap lukisan yang menggantung di sana, "Ibumu?" tanyanya.

Arthea mengangguk, "Rumah kami punya air terjun kecil. Cukup jauh dari paviliun."

"Apa tidak membeku?" tanya Jenov.

"Katanya itu air panas."

Marquess Larry tergila-gila dengan air. Pria itu punya kolam pribadi, danau buatan dan air terjun dengan sumber mata air panas. Beliau menghabiskan banyak uang di sana.

"Kau mau lihat?"

Jenov mengangguk. Arthea pun mengambil lentera, lalu jalan keluar rumah. Karena udara cukup dingin, ia jalan sedikit terburu-buru. "Pakai ini." Tak disangka pria itu membuka mantel miliknya, lalu menggantungnya di lengan Arthea.

"Sudah dicuci'kan?"

Jenov terperangah, "Kembalikan  kalau tidak mau pakai."

Arthea menoleh ke belakang, bibir Jenov sudah merenggut kesal. "Segitu saja kau sudah marah."

"Ck! Biar aku yang di depan." Pria itu mengambil lentera yang ada di tangan Arthea. Mereka berjalan cukup lama, karena di sekeliling mereka sangat gelap.

"Itu dia! Aku tidak pernah ke sana, karena kolamnya cukup dalam."

"Ada orang." Jenov meraih tangan Arthea, sehingga langkah mereka terhenti.

Arthea pun mendongakkan wajahnya. Benar, di kolam itu, ada seorang gadis yang mengapung. Cahaya dari lentera membuatnya kaget, ia pun berenang ke pinggir kolam. Arthea menatapnya lekat-lekat,  "Bukannya kau tidak bisa berenang?"

The Legend of Arthea : Punishment and PenanceWhere stories live. Discover now