22

3.4K 722 214
                                    

           Hari ini, matahari sepenuhnya bersinar terang. Cuaca yang dingin berganti hangat. Orang-orang yang bekerja di tambang mulai mengemasi barang-barang mereka. Arthea melihat Jenov dari kaca jendela. Pria itu terlihat memantau pasukan khusus yang akan dikirim untuk ekspedisi.

Arthea menunduk. Ya, Aphelo benar... ia tidak punya pilihan. Jika nafas dewi miliknya tidak diambil, Arthea akan lenyap. Jiwanya akan menjadi serpihan kecil.

Arthea mengerti jika ia adalah seorang pendosa. Kesalahan yang ia lakukan sangat besar. Pantas jika nasib buruk menghantuinya. Namun, anehnya Jenov adalah mausia yang tidak memikul 7 dosa besar—The Seven Deadly Sins. Dia tidak seharusnya bernasib buruk. Tidak seharusnya dewa membiarkan pria itu terluka secara terus-menerus.

'Dewi, apapun yang terjadi, ambil nafas itu hari ini.' Aphelo seolah memperingatinya. Dia bahkan datang di pagi hari dengan cara memasuki tubuh Caren.

Arthea bimbang. Jika ia mengambil nafas dewi miliknya, tubuh Arthendra yang asli akan mati mendadak. Apa Jenov siap untuk itu?

"Duches... Nyonya Lauren bersedia menemui Anda sore ini," ujar Caren. Pelayan itu masuk ke dalam kamar, "saya minta maaf soal tadi pagi. Jujur, saya tidak ingat kenapa saya datang ke kamar Anda."

"Tidak apa-apa, jangan terlalu dipikirkan."

Ya, gadis itu tidak sadar tubuhnya dirasuki Aphelo. Pria itu mengunjunginya pukul 5 dini hari, lalu keluar tiba-tiba saat energinya melemah.

"Tapi, ada yang aneh—"

"Caren, tolong minta koki untuk menyiapkan kue. Aku akan menemui Nyonya Lauren di taman belakang."

"Baik, Nyonya." Gadis itu pun buru-buru menjalankan perintahnya.

Karena hari masih pagi, Arthea merebahkan tubuhnya di ranjang. Isi kepalanya penuh. Bahkan, kemarin malam Arthea tidak bisa tidur. Ia hanya menatap wajah Jenov lekat-lekat.

Karena masih muda, pria itu pasti bisa melupakannya'kan? Arthea berharap Jenov tidak bersedih terlalu lama. Ia ingin pria itu melupakannya, lalu menikah dengan gadis baik yang ia sukai.

Sangat disayangkan jika orang itu Jannettha. "Semoga bukan Jannettha." Arthea memejamkan matanya. Jenov terlalu baik. Meskipun dia tidak mengatakan apa-apa, tapi Arthea dapat merasakan Jenov orang yang tulus. Bahkan, pria itu menyukainya begitu saja. Cinta yang dia miliki juga murni.

"Theandra..." Suara ketukan pintu terdengar.

Arthea membuka matanya, lalu mendapati Jenov masuk ke dalam kamar. Pria itu mengernyit bingung, "Kau melewatkan sarapan?" tanyanya, sembari membuka sarung tangan besi yang melekat di tubuhnya.

Arthea benar-benar tidak nafsu makan. "Nanti saja. Kau sudah selesai?"

"Hanya latihan kecil." Pria itu mengulurkan tangannya, lalu menyentuh kening Arthea. Tidak demam, tapi sikapnya aneh. "Ada yang menganggu pikiranmu?"

"Soal Jannettha—"

"Dia tidak ada hubungannya dengan kita. Aku akan menemuinya untuk memutuskan hubungan."

"Bukan seperti itu, Jen, maksudnya—"

"Aku hanya akan menatapmu. Kau menyukaiku'kan?"

Arthea mengangguk, membenarkan, "Tapi, Jen... soal perjanjian yang kita buat—"

"Aku sudah membakar semuanya." Pria itu menyentuh surai rambut istrinya, "lagipula, kita sudah menikah secara resmi. Untuk apa bercerai? Ketika kau siap, kita akan memiliki anak."

Tubuh Arthea kaku. Ia ingin bicara, tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Jenov tersenyum tipis, "Kau ingin berapa anak, Thea?"

Arthea menggigit bibir dalamnya, menahan agar air matanya tak jatuh. Ia menggeleng pelan, tapi Jenov menarik pelan dagunya, sehingga kini wajah Arthea fokus menatap mata pria itu, "Apa yang sudah menjadi milikku tidak bisa direbut oleh siapapun. Kau harus tahu itu, Arthea," tekannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Legend of Arthea : Punishment and PenanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang