BAB 05

16.3K 693 8
                                    


"Aku pusing punya kakak-kakak sepupu yang abrnormal, padahal mereka udah tua."

"Abnormal?" Tarima merasa tergelitik dengan pemilihan kata dilontarkan sang sahabat.

"Iya, Tari."

"Nggak Kak Affa, nggak Kak Sadha, kesal banget aku sama tingkah mereka yang amat curigaan dengan pasangannya."

"Apalagi kompak nggak ingat kapan buat anak. Dan malah nggak percaya udah buat kamu sama Gauri hamil."

"Mereka antara polos, atau bego. Padahal, kalau urusan bisnis pada pintar-pintar."

Tarima bingung bagaimana cara memberikan tanggapan atas celotehan Kenanga yang sarat akan kekesalan, terlebih jika sudah ada kaitan dengan Sadha Panca Putra, suami kontraknya.

"Kak Affa masih mending langsung percaya dan cepat nikahi lagi Gauri. Lah, Kak Sadha malah kepalanya kayak batu, keras banget."

Tarima hanya bisa tersenyum kecut. Masih belum menemukan balasan tertepat untuk dikeluarkan. Lebih baik tak berkomentar.

Walau, sang sahabat ada di pihaknya.

"Kamu nggak marah, Tari?"

"Kenapa aku marah?" Tarima bingung.

“Ucapan Kak Sadha di klinik kapan hari lalu itu keterlaluan, padahal dia biasanya kalem.”

“Bisa-bisanya ngomong kasar gitu ke kamu.”

“Lumayan kesal.” Tarima menjawab jujur.

“Aku dituduh melakukan apa yang nggak aku perbuat. Kesannya aku wanita murahan.”

“Sampai sekarang, aku dan Mas Sadha belum berbaikan. Aku pisah rumah juga.”

“Aku rencananya mau bercerai.”

Kenanga tampak terkejut lewat mata sahabat baiknya yang tampak membeliak. Mulut pun menganga sambil memandangnya.

“Cerai? Kamu lagi hamil, Tari.”

“Lebih baik aku berpisah, daripada aku cuma dimanfaatkan untuk memenuhi ekspektasi Mas Sadha kasih cucu ke orangtua.”

“Tapi bukannya bayi kamu itu anak Kak Sadha? Kenapa kamu milih cerai?”

“Tinggal kita tes paternitas untuk buktikan kamu hamil anak Kak Sadha. Kamu nggak perlu berencana bercerai, Tari.”

“Aku nggak setuju dengan ide kamu, ya.”

Tarima tahu Kenanga sangat peduli padanya dan tak segan berkomentar pedas hanya untuk mengeluarkan pendapat kontra.

Jika Kenang tidak setuju, maka artinya apa yang jadi tujuannya kurang masuk logika.

Tentu, ia sendiri sadar jika keputusan dipilih memiliki konsekuensi besar, terutama bagi bayinya yang akan kehilangan figur ayah.

Dirinya bisa mengurus sendirian, tanpa harus melibatkan Sadha yang meragukannya.

“Kamu nggak boleh cerai dengan Kak Sadha, ya. Pokoknya jangan ambil tindakan ceroboh karena keegoisan kamu semata, Tari.”

“Aku tetap mau bercerai dari Mas Sadha.”

“Aku nggak akan biarkan dia dapat anak ini, setelah dia menuduhku berselingkuh.”

“Dia harus merasakan sakit kehilangan anak yang tidak mau dia akui sejak awal.”

Disaksikan sang sahabat menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala. Respons yang kerap Kenanga tunjukkan saat sudah merasa menyerah dengan argumen dikeluarkan.

“Aku ngikut apa rencana kamu saja, Tari.”

Tentu, selama berkawan baik belasan tahun, mereka pernah beberapa beda pendapat tentang pandangan terhadap sesuatu.

Berdebat diawal sudah pasti, namun Kenanga akan mengalah pada akhirnya.

Sama seperti sekarang ditunjukkan.

“Apa bisa kamu menolongku, Kena?”

“Menolong apa? Kenapa aku curiga, ya?”

Ekspresi sang sahabat lebih serius. Dirinya pun ditatap semakin lekat, dengan sorot yang bertanya-tanya dan penasaran.

Tentu, artinya harus segera diutarakan rencana telah disusun kepada kawan baiknya.

“Soal tes paternitas …”

“Kenapa dengan tes paternitas, Tari?”

“Akan dilakukan di klinikmu?” Tarima pun merespon segera dalam nada kian serius.

“Iya, kalau nggak ada perubahan. Kenapa? Bilang cepatan biar aku nggak curiga.”

“Apa bisa kamu membantuku memanipulasi hasil tesnya?” Tarima mantap meminta.

Kenanga membulatkan mata. Reaksi kaget.

“Memanipulasi bagaimana?”

“Manipulasi hasil tesnya supaya nggak bisa menunjukkan bayiku bukan anak Mas Sadha.”

“Dengan begitu, dia akan menceraikanku.”

“Aku minta tolong, Kena. Aku cuma punya kamu yang bisa bantu aku.” Tarima memohon.

“Aku benar-benar nggak mau bayiku dijadikan alat oleh Mas Sadha untuk memenuhi tujuan dia. Lebih baik, aku jauhkan dari sekarang.”

“Bagaimana kalau pakai cara lain? Lumayan berisiko memanipulasi hasil tes seperti itu.”

“Lisensi dokterku bisa dicabut, Tari.”

“Ide apa yang kamu punya, Kena? Aku akan pikirkan, kalau itu bisa menolongku.”

“Libatkan orangtua Kak Sadha.”

................

Ditunggu yok komennya.

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now