BAB 14

10.1K 535 14
                                    

Bugh!

Tanpa terencana, Sadha memukulkan tangan ke meja. Emosinya sudah tak tertahankan lagi. Apalagi, ia bukan manusia penyabar.

Sementara, mata tajamnya tak teralih dari layar komputer tengah tampakkan Tarima kabur lewat pintu darurat rumah sakit.

Kejadiannya dua jam lalu.

"Ada yang bisa kami bantu, Pak Sadha?"

Digelengkan pelan kepala. "Tidak."

"Terima kasih." Sadha melanjutkan.

Lalu, kedua kaki digerakkan berat keluar dari ruang pengawasan CCTV rumah sakit.

Dua ajudan bodoh yang ditugaskan menjaga Tarima menyambut dirinya di ambang pintu.

Mereka tak mengatakan apa-apa, namun jelas menampakkan raut ketakutan.

Sadha berusaha mengontrol amarah lagi. Tak harus membuang energi hanya demi dapat melampiaskan emosi sesaatnya.

Yang harus dipikirkan sekarang adalah Tarima dan cara menemukan wanita itu segera.

Informan swasta sewaannya sudah bekerja untuk mencari titik keberadaan Tarima.

Mereka bilang butuh kurang dari enam puluh menit memberikan kabar, ia akan menunggu.

"Kak Sadha ...,"

Kenanga yang datang.

Tak diberikan respons apa-apa, selain hanya mengarahkan sang adik sepupu masuk ke ruang inap yang ditempati Tarima.

Mereka berjalan bersama dalam diam. Kedua ajudan tentu juga mengikuti di belakang.

Semenit kemudian, mereka sampai di tempat tujuan. Sadha masuk dengan Kenanga.

Dipilih duduk di kursi, sedangkan sang adik sepupu berdiri dengan peringai cukup panik.

"Belum ada informasi, Kak?"

"Masih dicari." Sadha menyahut cepat.

"Sumpah dia gila banget."

"Walau kondisinya sudah stabil, dia masih perlu perawatan. Malah main kabur aja."1

Bagaimana Kenanga tak kesal. Sang sahabat amat dipedulikan bertindak semaunya tanpa memikirkan kesehatan yang belum pulih.

Tarima memanglah punya sifat keras kepala yang menyebalkan. Namun, Kenanga tidak habis pikir kawan baiknya bisa begitu nekad.

Dirinya tahu prakara rumah tangga Tarima dan sang kakak sepupu sedang bermasalah, ia enggan ikut campur, tapi rasanya sang sahabat sudah sangat tertekan.

Terbukti dengan pendarahan dialami Tarima.

Tak semata pengaruh fisik atau ada masalah dengan kandungan kawan baiknya itu, faktor utama adalah beban pikiran yang berat.

"Kak Sadha ...,"

Sang kakak sepupu menoleh lagi ke arahnya.

"Bisa nggak Kak Sadha jangan terlalu keras dan kasar sama Tari? Dia sampai kabur."

"Aku nggak mau terlibat masalah kalian, tapi Tarima itu sahabat baikku. Aku nggak akan bisa lihat dia kesusahan karena Kak Sadha."

"Kalau dia mau pisah, kabulkan saja."

"Nggak usah buat Tarima menderita, kalau Kak Sadha nggak bisa bertanggung jawab."

Tidak ada sesal atau kegentaran sudah bicara begitu blak-blakan dalam membela sahabat baiknya. Kakak sepupunya saja yang egois.

"Saya tidak akan menceraikan Tari."

Jawaban Sadha amat dingin. Dilayangkan pula pada Kenanga, tatapan tajam. Jelas menunjukkan ketidaksukaan akan sikap sang adik sepupu yang lancang hari ini.

"Semakin dia dikungkung, dia akan melawan."

"Kak Sadha nggak kasihan sama calon anak kalian? Mau benar-benar kehilangan?"

"Saya akan baik pada Tari, setelah hasil tes paternitas keluar dan membuktikan anak yang dia kandung adalah darah daging saya."

"Ckck, egois banget," cibir Kenanga dengan terang-terangan. Mulut ingin berkata pedas.

"Pernah nggak Kak Sadha sayang Tari? Apa cuma mau memanfaatkan dia buat hamil?"

Pertanyaan dikira akan dijawab. Atau minimal namanya diteriakan marah oleh sang kakak sepupu. Namun, Sadha justru membungkam mulut dan mengalihkan pandangan darinya.

Sebelum tambah jengkel, Kenanga memilih pergi meninggalkan kakak sepupunya.

Obrolan mereka tidak akan menghasilkan solusi seperti yang dirinya inginkan. Malahan akan membakar kemarahan dalam dadanya.

Sesampai di luar kamar, Kenanga diberikan sikap hormat oleh dua ajudan bertugas.

Tergelitik keinginan untuk bertanya kejadian sebenarnya hingga Tarima bisa kabur.

"Maaf, Pak Rudy, Pak Noah."

Keduanya memandang serius ke arahnya.

"Kenapa tadi Tarima bisa pergi? Apa dia lari kencang sampai Pak Rudy dan Pak Noah tidak bisa dikejar?" Kenang memancing.

"Maksud saya, Tarima belum pulih total. Akan bahaya jika dia berlari. Pak Rudy dan Pak Noah tidak mengejar dia, 'kan?"

"Kami membiarkan Ibu Tarima pergi, Bu."

"Eh? Gimana?" Kenanga kaget sendiri.

"Ibu Tarima bilang ingin pergi menyelamatkan bayinya. Kami yang juga punya istri, tidak tega melihat Ibu Tarima seperti itu."

Kenanga ingin menanyakan lebih lanjut tapi urung, sebab ponselnya sudah berdering nyaring.

Jelas dari Tarima.

Dipasang nada khusus untuk panggilan dua sahabatnya, yakni Gauri dan Tarima.

"Kamu di sana? Sumpah, ya, kamu gila banget main pergi dari rumah sakit, Tari."

Kenanga tak bisa untuk tetap bersikap ramah, saat Tarima sudah melakukan tindakan yang membuatnya begitu cemas.

Tentu sang sahabat meminta maaf di ujung telepon dengan nada sungguh-sungguh.

"Kamu di mana sekarang, Tari? Bilang cepat." Didesak kembali karena begitu ingin tahu.

Kawan baiknya langsung menyebut nama dari rumah sakit negeri yang letaknya dekat dengan kediaman sang sahabat.

Tarima pergi ke sana untuk mendapatkan perawatan lanjutan. Prosedur pun sama, Tarima harus rawat inap sampai besok.

"Gimana kondisi kamu sekarang, Tari? Kamu aman, 'kan?" Kenanga memilih meredam rasa kesal, tak meneruskan omelannya.

"Aku akan ke sana pas makan siang, kamu jangan main kabur-kabur lagi. Awas, ya."

Tepat setelah selesai bicara, pintu ruangan VIP PREMIUM terbuka, sang kakak sepupu tampak keluar dengan wajah tegang. Rahang mengeras, seperti marah.

Apa masih jengkel dengannya?

Spontan sambungan telepon Tarima diakhiri, saat Sadha mendekat ke arahnya.

"Saya sudah menemukan Tarima."

"Dia bersama mantan pacarnya."

Kenanga cukup kaget, ingin ditanyakan pada kakak sepupunya, namun Sadha sudah buru-buru berjalan menjauh bersama Pak Rudy dan Pak Noah.

...............................

Ayok, ditunggu komennya. Udah rajin up nih. Wkwkwk.

Bayi Milik Suami DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang