BAB 30 END

9.1K 422 17
                                    



“Sudah tidur?” Tarima bertanya saat sudah berada tepat di dekat sang suami.

Sang suami hanya mengangguk pelan.

Tarima pun diam kembali. Ia tak punya lagi pertanyaan akan diajukan ke Sadya. 

Seluruh atensi telah dipusatkan pada bayi manisnya dalam gendongan sang suami.

Senang melihat putranya tidur lelap, setelah semalam hingga dini hari tadi.

“Kita harus bicara, Tari.”

Tak direspons ucapan dingin sang suami. Tapi terus memerhatikan pergerakan pria itu yang menaruh bayi laki-lakinya kembali ke boks.

Saat Sadha sudah selesai dan mulai berjalan ke arahnya, Tarima segera melangkahkan kaki keluar dari kamar buah hatinya.

Tak mau membuat putra mereka yang baru tidur mendengar percakapannya dan sang suami. Sudah pasti akan sangat serius topik pembicaraan dibahas.

Tarima berhenti tepat di ruang tamu, namun tidak didudukinya sofa, begitu pun Sadha.

“Mas mau membicarakan apa?” Tarima pun to the point saja bertanya. Ia sudah menyiapkan diri dengan segala pembahasan bisa terjadi.

“Apa rencana perpisahan kita?” tebaknya.

“Kita tidak akan berpisah.”

"Aku mau anak lagi darimu, Tari."

"Aku akan bayar berapa pun yang kamu mau, asal kamu melahirkan anakku lagi."

Tarima tetap diam. Perdebatan dengan sang suami rasanya sudah terlalu membuat penat. Ingin pula segera diakhirinya semua.

Namun, obrolan mereka belum mencapai kesepakatan apa pun. Jadi tidak akan bisa disudahi, walau sangat ingin dihentikan.

"Katakan berapa yang kamu mau, Tari?"

"Aku akan beri berapa pun, jangan takut bilang berapa saja yang kamu perlukan."

Telinga Tarima memanas bukan main, karena mendengarkan ucapan suaminya yang amat nyata tunjukkan desakan lewat nada bicara.

Tarima jelas merasakan ketersinggungan kian besar. Ia akan mengamuk sekarang.

"Berapa yang kamu inginkan, Tari?"

"Aku tidak mau." Tarima menekankan setiap kata untuk menegaskan jawabannya.

Tak sekadar dalam ucapan penolakan keras diperlihatkan, tapi lewat sikap pun semakin ditunjukkan agar Sadha paham maksudnya.

Tarima mendekat ke arah sang suami dengan tatapan menantang. Tak akan gentar jika netra pria itu memandangnya tajam.

"Aku bukan pabrik yang akan bisa Mas pakai untuk menghasilkan anak sebanyak yang Mas inginkan. Tugasku sudah selesai."

"Aku sudah melahirkan satu bayi laki-laki yang bisa Mas jadikan penerus Mas."

"Sesuai kesepakatan, kita bercerai." Tarima ingin mengarahkan jawaban ke perjanjian yang mereka buat sebelum menikah kontrak.

"Aku tidak mau berpisah, Tari."

Tarima berdecak sinis. "Mas tidak mau kita berpisah? Oke, aku ajukan satu syarat."

"Mas harus belajar mencintaiku karena tidak akan ada pernikahan yang hangat, kalau cuma satu pihak mencintai tanpa dibalas."

Secara tak langsung, Tarima sudah mengakui jika hatinya untuk Sadha, walau masih secara tersirat disampaikan ke sang suami.

Semoga Sadha menangkap maksudnya.

Tarima pun mendobrak batasan yang dibuat oleh pria itu secara fisik. Ia mantap untuk memeluk Sadha karena merasa perlu.

Tubuh pria itu tegang dalam dekapannya.

"Mas, ayo berdamai dengan masa lalu. Aku tidak akan berselingkuh seperti mantan istri pertama Mas. Aku mencintaimu."

Sadha memeluknya balik. Bajunya pun basah oleh air mata pria itu untuk pertama kali.

Tarima bertekad akan menyembuhkan luka pria itu dengan cinta tulusnya.

Sudah berbulan-bulan dicoba, namun Sadha masih belum memercayainya. Selalu tarik ulur menunjukkan kasih sayang padanya.

Apa sesulit itu bagi sang suami menyerahkan hati jika memang mencintainya?

Saat sang suami menyerahkan tablet miliknya, tentu menjadi tanda jika pria itu telah selesai membaca draft novel yang baru beberapa menit lalu diberikan.

Tarima masih merasa malu sebenarnya untuk meminta review dari Sadha, namun ia juga memerlukan saran sang suami karena ia menulis karya memang terinspirasi dari kisah rumah tangga mereka berdua.

"Gimana, Mas?" Tarima memutuskan bertanya karena Sadha tak berkomentar.

"Aku mencintai kamu."

Tarima membeliakkan mata sebab tak berekspektasi dengan apa yang baru saja suaminya katakan, padahal ia mengira akan terlontar review singkat dari Sadha.

Dan untuk pengakuan yang diluncurkan pria itu, tentu saja sukses membuat debaran jantung menjadi kencang dibanding beberapa menit lalu.

Apalagi, sang suami menatapnya dengan intens.

"Aku juga sayang Mas Sadha," ujar Tarima sungguh-sungguh.

"Hm, tapi bagaimana sama draft novelku, Mas? Menurut Mas gimana?"

"Bagus."

Pujian singkat saja dari sang suami.

"Bagaimana kamu akan membuat ending dari novel kamu, Tari?"

Sadha rupanya mengeluarkan pertanyaan lanjutan.

"Hm, aku akan buat ending yang bahagia. Happy ending."

"Buat endingnya si suami sangat mencintai istrinya, seperti aku yang sangat mencintai kamu, Tarima."

"Si suami akan berdamai dengan masa lalunya. Hidup bahagia dengan istrinya dan anak mereka." Sadha bicara dalam nada yang penuh harapan.

Digenggam lantas tangan sang istri dengan erat.

Tarima pun sudah dengan saksama mendengar semua saran yang diberikan sang suami. Ia mendapatkan inspirasi untuk karyanya. Diperoleh pula gambaran akan bagaimana rumah tangganya berlanjut bersama sang suami.

Mata Sadha yang menatapnya teduh. Pria itu akan menjadi tempat ternyaman untuknya tinggal dan berlindung. Hati Tarima sudah benar-benar mantap mencintai sang suami.

"Selesaikan novelmu dengan ending yang manis, Sayang."

"Aku akan membacanya sampai akhir."

"Makasih banyak, Mas."

"Satu lagi, Tari ...."

"Apa, Mas?" Tarima mendadak sedikit tegang melihat mimik serius sang suami.

"Aku tidak pernah menganggap kamu sebagai wanita hanya untuk menghasilkan anak. Dan maaf aku sudah meragukan calon anakku sendiri."

"Aku sudah memaafkan kamu, Mas."

..............................

Bayi Milik Suami DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang