BAB 07

13K 659 18
                                    


Selepas Tarima pergi satu jam lalu, Sadha tak bisa melakukan apa-apa. Dalam artian, tidak dapat meninggalkan kediaman orangtuanya.

Sang ayah dan ibunya melarang.

Namun mereka belum menanyakan apa pun untuk mengonfirmasi kebenaran pengakuan yang dilontarkan Tarima tadi.

Mereka malah makan bersama.

Sadha tak menyentuh satu pun hidangan di atas meja. Sama sekali tidak ada nafsu untuk makan, disaat emosinya terus bergolak.

Ya, efek marah karena aksi nekad Tarima.

Wanita itu sudah terlalu berani melawannya. Melakukan tindakan diluar kesepakatan yang mereka buat, hanya demi menunjukkan balas dendam setimpal atas perbuatannya.

“Sadha …,”

Setelah tidak bicara satu pun kata, panggilan sang ibu padanya menjadi pembuka.

Tak dibalas. Namun, memusatkan pandangan pada orangtuanya. Mereka menatap dirinya dingin dan menusuk dengan kompak.

Orangtuanya tengah berang.

“Berikan kami bukti perselingkuhan Tari.”

“Tidak ada.” Sadha menyahut tegas untuk permintaan diajukan oleh sang ibu.

“Dia mengaku dia berselingkuh, benar tidak ada bukti yang kamu miliki, Sadha?”

Ibunya masih menuntut jawaban. Dan ia tak punya apa-apa untuk diperlihatkan.

“Aku yang menuduhnya berselingkuh.”

“Kamu menuduhnya tanpa bukti?”

“Hanya asumsiku.” Sadha bicara datar. Masih dipandang kedua orangtuanya.

“Asumsimu?”

Balasan pertama dari sang ayahnya.

“Apa tujuan asumsimu itu, Sadha?”

Pertanyaan sang ibu sarat tuntutan.

“Aku hanya mengantisipasi ada kemungkinan dia bermain di belakangku.”

“Berselingkuh.” Sadha mempertegas.

“Kamu asal saja menuduh dia hamil, hasil dari perselingkuhan? Tanpa ada bukti?”

“Tentang bayi Tarima …”

“Jika benar anakku, tinggal dibuktikan dengan tes paternitas. Tidak rumit.” Sadha memotong segera pertanyaan hendak diajukan ibunya.

“Aku bisa mengatasi masalah sepele ini.”

Prak! Sang ayah memukul meja makan.

Sedangkan, ibunya masih diam.

Sadha pun tetap akan bersikap tenang. Tak akan gentar menghadapi orangtuanya.

Namun saat sang ibu bergerak cepat bangun dari kursi dan berjalan ke arahnya, ia tak menduga akan ditampar keras di pipi.

“Saya tidak mendidikmu menjadi pria yang tidak bertanggung jawab, Sadha.”

“Aku akan bertanggung jawab, jika bayi yang dikandung wanita itu benar anakku.”

“Bangun sekarang dan antarkan saya ke rumah kalian untuk bicara dengan Tari.”

Tak dituruti perintah sang ibu.

“Sadha!”

“Kami sudah pisah rumah, dari beberapa minggu yang lalu untuk persiapan bercerai.”

“Dan sejak menikah dengan Tarima, kami tidak pernah tinggal satu atap.” Sadha pun menambah pengakuan yang pasti akan dapat mengguncang keterkejutan orangtuanya.

Plak!

Satu tamparan lagi dilayangkan ibunya.

Kali ini, Sadha tidak menerima. Ia menatap penuh kemarahan ke orangtuanya.

“Berani kamu menceraikan Tarima, saya dan Papamu akan membuangmu, Sadha.”

“Kamu bukan lagi penerus kami.”

“Posisimu yang sekarang kamu pegang harus kamu tinggalkan, jika kamu macam-macam.”

“Mama begitu menyukai Tarima?” Sadha kian geram dengan ancaman ibunya.

“Saya tahu bagaimana Tarima.”

“Saya lebih baik dalam menilai dia dibanding kamu yang seenaknya bersikap, Sadha.”

Decihan diloloskan menanggapi pembelaan sang ibu yang mengagumkan untuk istrinya.

Pengaruh Tarima besar sudah besar pada orangtuanya. Entah bagaimana cara wanita itu, tapi hasilnya luar biasa mencengangkan.

“Andai mendiang orangtua Tarima tidak menolong kami dulu, apa kamu pikir kamu bisa ada di posisi ini untuk melanjutkan bisnis-bisnis kami?”

Giliran sang ayah yang bersuara.

“Hutang budi?” Sadha menyindir.

“Hutang budi kamu bilang?” Ibu Hanni sudah dalam level emosi yang membuncah tinggi.

“Mendiang orangtua Tarima berjasa menolong kami saat kami susah dulu, Sadha.”

“Kamu tidak menghargai itu? Menganggap bantuan mereka sepele?”

Tak pernah terpikir bagaimana putra tunggal yang sejak kecil dibesarkan dengan kasih sayang besar dan juga pendidikan terbaik, bisa memiliki pikiran picik. Egois pula.

Semua karena Sadha merasa sudah memiliki kuasa sebagai penerus utama mereka?

“Kita akan ubah surat ahli waris kita, Pa.” Ibu Hanni memerintahkan pada suaminya.

“Hubungi pengacara kita.”

“Ahli waris bukan lagi Sadha Putra Panca, melainkan bayi dikandung Tarima.”

“Bayi itu akan resmi mewariskan semua harta dan bisnis kita, setelah dilahirkan.”

“Apa Papa setuju dengan Mama?”

“Iya, Ma. Papa setuju. Kita akan hubungi pengacara untuk mengubahnya.”

Ibu Hanni yang sudah amatlah mantap dengan keputusan hendak dibuat, lega sang suami mau turut sejalan. Walau mereka belum lebih mendiskusikan prakara ini.

“Kamu tidak terima, Sadha?” Ibu Hanni masih terpancing emosinya melihat sang putra yang tersenyum dengan sinis, seolah meremehkan.

“Saya akan menerimanya, Ma.”

“Tapi, apa Mama dan Papa sudah yakin jika bayi itu darah dagingku?” Sadha menantang.

“Belum pasti itu anakku.”

“Papa dan Mama terlalu menginginkan cucu, sampai begitu terobsesi dengan bayi Tarima.”

“Sadha!” Ibu Hanni berteriak marah. Beliau pun hendak menampar putranya yang kian kurang ajar dalam berbicara.

Namun, sang suami berhasil mencegah.

“Kita akan membuktikannya, Nak.” Buda Weltz beralih bicara. Nadanya tajam. Tak ada ekspresi di wajah karena tegang.

“Selama tes belum dilakukan, Papa minta kamu tetap menjaga Tarima dan bayinya. Itu bentuk tanggung jawabmu sebagai suami.”

“Jika ada apa-apa dengan mereka, Papa yang akan langsung menyeretmu ke polisi.” Buda Weltz benar-benar mengancam.

............................

Komen-komen di part 06, udah dibaca. Senang kalau ramai. Jadi semangat gitu buat up lagi. Komen-komen terus yuk.

Ditunggu ya tanggapan buat part ini.

Bayi Milik Suami DudaKde žijí příběhy. Začni objevovat