BAB 26

10.8K 669 10
                                    


Pukul sembilan malam pas, Tarima sudah tiba di kediaman mewah sang suami yang akan menjadi tempat tinggalnya lagi.

Beberapa bulan ditinggalkan, tentu untuk mendiami lagi, butuh adaptasi ulang. Apalagi, ia akan satu atap dengan suaminya.

Walau hunian lantai dua Sadha amat megah dan luas, Tarima lebih merasa nyaman di rumah kontraknya yang lebih sederhana.

Namun karena sudah teguh berkomitmen untuk memulai hubungan baru dengan sang suami, maka ia wajib untuk berkorban.

Tarima tak tahu persis kapan hatinya bisa menerima Sadha seutuhnya. Akan butuh proses. Tidak semudah itu jatuh cinta.

Masa lalu sudah dilepaskan. Tak tersisa rasa apa pun pada Dirga yang menghalangi dirinya untuk menata hati kembali bagi pria lain.

Sekarang hanya tentang waktu.

Tarima yakin Sadha pantas untuk diberikan kesempatan, setelah sebelumnya ia berperan juga dalam menorehkan trauma pernikahan pada hidup pria itu.

Andai saja dulu dirinya tahu Sadha memiliki perasaan cinta padanya. Peluang menerima perjodohan mungkin akan diperbesar.

Jika saja tidak ada ide soal mengganti dirinya dengan sang kakak sepupu, mungkin Sadha tak perlu mengalami penghianatan begitu luar biasa yang membuat pria itu terpuruk.

Namun, tetap saja kala itu, keegoisan besar dengan harapan cintanya dan Dirga mampu abadi hingga ke jenjang pernikahan, menjadi malapetaka bagi orang lain, terkhusus Sadha.

Terlepas dari rasa sakit karena konflik di antara mereka yang terjadi belakangan, akan berusaha dibuka perasaan untuk pria itu.

Tentunya, Tarima juga sudah mulai berdamai akan segala bentuk emosi negatif dimilikinya Sadha karena hinaan dan tuduhan pria itu.

Tarima berusaha memahami kondisi psikis sang suami oleh pengaruh trauma dialami.

Tok!

Tok!

Tok!

Lamunan Tarima dengan berbagai pemikiran saling tumpang tindih, harus buyar tiba-tiba karena mendengar ketukan pada pintu kamar.

Tak lama dibuka dari luar oleh sang suami.

Pria itu berdiri di ambang pintu, dengan mata tertuju penuh padanya. Ia pun mengunci juga atensi sepenuhnya pada sosok Sadha.

"Saya boleh masuk?"

"Iya, Mas."

Dan masih diperhatikan Sadha yang berjalan ke arahnya. Tak lama dibutuhkan oleh pria itu menggapai ranjang. Duduk di sebelahnya.

Tarima kembali dihinggapi ketegangan. Walau sudah berusaha untuk tetap rileks saat terlibat interaksi apa pun dengan suaminya.

Namun, ketika teringat akan fakta bahwa ia dan Sadha akan tidur dalam satu kasur yang sama, maka rasa tegang pasti muncul.

Belum lagi, lemparan memori membawanya ke masa lalu, terutama saat momen-momen melakukan hubungan intim dengan Sadha untuk menghasilkan bayi seperti perjanjian.

Tempatnya pun sama, di ranjang ini.

"Masih kram perut kamu, Tari?"

Dengan kegugupan yang belum hilang, gerak kepala dalam menggeleng pun dilakukan kaku. Balasannya pun terasa singkat.

Perlu ditambahkan lewat kata-kata.

"Sudah hilang, Mas." Dilontarkannya mantap penegasan untuk meyakinkan sang suami.

"Benar?"

"Iya, Mas." Tarima tanpa ragu meluncurkan jawaban, walau balasannya amat singkat.

"Apa tidak apa?"

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now