BAB 29

9.6K 508 43
                                    


......................

"Apa itu tangan calon bayinya?"

"Kak Sadha bilang apa? Tangan?"

Hanya dianggukan pelan kepala untuk tanggapi pertanyaan diajukan sang adik sepupu, Dokter Kenanga Weltz. Fokusnya masih tertuju ke layar monitor yang menampakkan hasil USG.

Sosok calon buah hatinya pun sudah berbentuk seperti manusia, dengan anggota tubuh lengkap.

"Itu kaki si Baby, Kak Sadha."

"Bukan tangan." Kenanga sengaja menjawab dengan iringan nada mengejek yang nyata.

"Masa nggak bisa membedakan mana tangan dan kaki." Kenanga menambahkan sindiran.

Sadha hanya bisa menyengir tanpa berkomentar.

Harus diakui jika dirinya belum pandai dalam mengenali. Otaknya tak berfungsi sebagaimana seharusnya kala berada di ruang pemeriksaan. Apalagi melihat gambaran calon anaknya.

"Nggak apa-apa, Mas. Jangan tegang."

Tarima berusaha menenangkan suaminya tak hanya dengan ucapan lembut, tapi juga tangan yang menggenggam kuat jari-jari dingin pria itu.

Baru kedua kalinya, Sadha menemani pergi ke rumah sakit memeriksakan kandungan. Tentunya timbul kegugupan yang dialami calon ayah baru pada umumnya. Ia mengerti kegelisahan pria itu.

"Nah, ini baru tangan-tangan si baby."

"Bedakan ya mana tangan, mana kaki."

Sadha mendengarkan ocehan-ocehan sang adik sepupu, namun tak berminat memalingkan lagi wajah ke sosok Kenanga Weltz.

Mata tetap terarah pada layar monitor. Ia merasa takjub sekaligus merinding melihat gambaran calon buah hatinya yang lebih jelas kali ini.

Usia kandungan Tarima sudah memasuki bulan kelima, sekitar dua puluh minggu. Begitulah keterangan dari Kenanga beberapa menit lagi.

"Kak Sadha!"

Seruan lumayan kencang saudari sepupunya, bisa membuat atensinya langsung teralih kali ini.

Didelikkan mata ke Kenanga yang menyeringai.

"Coba tebak Kak, ini bagian apa si baby?"

Sadha lekas pula mengembalikan pandangan ke layar monitor, mengikuti arahan Kenanga.

Mata sedikit menyipit, upaya mengamati dengan saksama apa yang tadi dimaksud Kenanga.

Sadha ingin benar menebak. Jika salah, ia pasti akan kembali disindir oleh Kenanga.

Jadi, jawabannya tidak boleh meleset.

"Pantat."

Seketika, Kenanga dan Tarima tertawa.

Sadha jelas langsung sadar jawaban pamungkas dilontarkan sangat salah tadi. Jadi, sangat pantas sang adik sepupu dan istrinya tergelak.

Malu? Sudah pasti.

"Pantat? Hahaha."

"Ini tuh kepala baby, Kak Sadha. Udah ada cikal bakal rambut. Eh dibilang pantat."

Sadha kian merasa terpojokan dengan celotehan sarat sindiran sang adik sepupu. Ia hanya dapat menggaruk-garuk kepalanya tak gatal.

Membela diri juga akan percuma.

"Kak Sadha udah tahu jenis kelamin calon baby kalian belum? Nanti salah perkiraan lagi."

"Cowok bukan?" Sadha menjawab kali ini.

"Betul, Kak! Betul!"

"Nah ini kelaminnya kelihatan jelas. Jangan dibilang tangan si baby, ya, nanti pas lahir, Kak."

Tarima cukup merasa lelah tertawa, perutnya agak kebas. Namun, tak mungkin hanya bisa diam seperti patung jika disajikan percakapan lucu antara sang suami dan sahabatnya.

"Pemeriksaan sudah selesai, Tari."

"Gimana bayiku? Sehat-sehat aja, kan?" tanya Tarima meminta kesimpulan menyeluruhan.

"Iya, bayinya sehat. Posisinya bagus."

"Ketuban aman."

"Detak jantung bagus."

Tarima bernapas lega akan kondisi sang calon anak yang tidak ada masalah. Setiap melakukan pemeriksaan, Tarima selalu merasa waswas jika ada salah dengan kondisi jabang bayinya.

"Bisa sendiri? Perlu aku pegang?"

Sang suami pun menawarkan bantuan untuknya dengan langsung mengulurkan tangan. Tentu ia segera menerima pertolongan Sadha karena cukup kesulitan bangun dari posisi berbaring dalam kondisi perut semakin membesar.

Saat sudah duduk, dirasakan pergerakan calon buah hatinya, tendangan-tendangan cukup kuat.

Tangan sang suami lekas dibawa ke perutnya. Ingin pria itu turut merasakan keaktifan anak mereka yang semakin sering akhir-akhir ini.

"Senang kayaknya dia, Mas." Tarima bicara saat melihat Sadha mengulas senyum di wajah.

"Makanya gerak-gerak di dalam dia, Mas."

Sang suami lantas mengangguk. Menatap hangat ke matanya. Ia suka sorot mata teduh pria itu.

Walau tanpa banyak bicara, Tarima merasakan nyata kebahagiaan sang suami karena kehadiran calon buah hati mereka di perutnya.

Kekagetan lantas menyerang karena kening dicium tiba-tiba, setelah Sadha dapat memegang kedua lengannya dengan cukup erat.

"Terima kasih, Sayang."

................

Yuhuu ditunggu komennya

Bayi Milik Suami DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang