BAB 25

10.9K 651 15
                                    


Tak banyak pembicaraan terjadi di antara mereka, selama dua puluh menit sudah di dalam mobil. Hanya beberapa percakapan singkat yang berakhir dengan keheningan..

Tadi hanya terlintas tiga pertanyaan.

Pertama menanyakan tentang kebenaran jadwal pemeriksaan, apa benar hari ini.

Tarima langsung mengiyakan tadi.

Lalu, yang kedua, ditanyakan soal tempat memeriksakan kandungan, apa benar masih di klinik praktik sang adik sepupu.

Istrinya membenarkan dengan jawaban yang amatlah singkat, beberapa menit lalu.

Pertanyaan terakhir, mengonfirmasi mengenai jam berapa Tarima akan ke sana.

Wanita itu menyahut cepat dalam balasan jelas, yakni pukul enam sore. Bahkan, juga disebutkan akan ke klinik menaiki taksi.

Dirinya tidak berkomentar, malah hanyalah keluar dehaman kecil. Menyudahi percakapan di antara mereka karena tak dikeluarkannya tanggapan atas keterangan Tarima.

Bukan tak punya. Namun, merasa percuma meluncurkan tanggapan. Sebab, yang ingin dirinya ajukan justru tawaran mengantar Tarima pergi ke klinik untuk pemeriksaan.

Diurungkan karena keberanian tak seberapa. Ia takut pula jika sang istri akan menolak.

Setelah kemarin, menyatakan perasaan cinta yang selama ini dipendam, entah mengapa Sadha pun seperti ingin membatasi diri dalam bersikap dengan Tarima. Terutama, hal-hal yang tidak menyenangkan bagi wanita itu.

Harus diakui pula, selepas tahu tentang anak tengah dikandung sang istri memang darah dagingnya, semua tindakan kasar dan buruk selama ini telah dilakukan, amat disesali.

Tidak ingin disakiti Tarima lebih banyak lagi, hanya karena patah sakit hati mendalam dulu oleh wanita itu, serta trauma perselingkuhan dilakukan Dewita terhadap dirinya.

“Mas sudah makan siang?”

Keheningan pun masih saja berlanjut, sampai tiba di kediaman sang istri. Dan pertanyaan diajukan wanita itu jadi pembuka percakapan kembali di antara mereka berdua.

Tanggapan pertama ditunjukkan pada Tarima adalah gelengan pelan. Fokus belum teralih pada sang istri yang tengah memandangnya.

Masih berkonsentrasi memarkirkan mobil.

Baru beberapa menit kemudian, dipindahkan atensi pada Tarima. Wanita itu rupanya belum berhenti menatapnya. Ia merasa tersentak.

Sikap Tarima pun cukup aneh hari ini.

Menaruh perhatian yang tidak biasa. Sangat kentara, walau tetap masih menjaga jarak dengan dirinya. Apa sebenarnya terjadi?

Sifat sang istri tidak sinis dan dingin. Bahkan kedua mata memancarkan sorot berbeda. Tak ada kilatan kemarahan atau kemuakan.

Lalu, Sadha teringat dengan pertanyaan yang diajukan, ia balas lewat gelengan pelan.

“Mampir sebentar, Mas.”

“Kita makan bersama, aku tadi masak.”

Sebelum sempat dijawab, Tarima sudah lebih dulu turun dari mobil. Ia memutuskan untuk segera menyusul istrinya itu keluar.

Berjalan bersama ke beranda depan. Sadha mengurungkan niatan menolak tawaran dari Tarima. Harus dihargai ajakan wanita itu.

Mereka tetap bernaung dalam diam, tatkala masuk bersama ke rumah Tarima.

Pemandangan ruang tamu dengan beberapa koper yang ada, membuat perhatian Sadha bertanya-tanya akan kemana istrinya pergi.

Namun, tak langsung diutarakan pertanyaan. Ia enggan memercikan konflik baru di antara mereka dengan keadaan sudah kondusif ini.

“Ada apa, Mas?”

Sadha tersadar sudah menghentikan langkah kaki, sehingga dikentarai Tarima. Ia lantas bergegas lanjut berjalan menuju meja makan.

Menarik kursi kosong untuk ditempati. Sang istri masih berdiri di sebelahnya. Wanita itu membuka satu demi satu wadah makanan.

Ayam suwir, telur rebus dan sup.

Menu khas rumahan. Ia baru dua kali pernah mencoba hasil masakan Tarima langsung.

Itu pun di hari-hari awal pernikahan mereka. Dan sudah lumayan lama berlalu.

“Aku cuma buat ini. Apa tetap mau makan?”

Sadha hanya mengangguk kecil sebagai balasan. Mulut terkatup rapat, sehingga tidak cukup bisa digunakan berkomentar.

Namun, mata terus mengikuti kemana pun Tarima bergerak. Wanita itu ke arah kabinet dapur, seperti akan mengambil sesuatu.

Dan ketika melihat lumayan banyak peralatan dibawa oleh Tarima cukup banyak, Sadha segera bangun. Berjalan mendekati sang istri guna membantu. Tak bisa diam saja.

Semua diambil dari tangan Tarima. Lantas, dibawa ke meja makan. Ditata sebagaimana mestinya supaya terlihat rapi.

Sang istri masih menyusul di belakang.

Ketika Tarima sampai di depan meja makan, salah satu kursi kosong ditarik untuk wanita itu, berada tepat di sebelah dirinya.

“Biar saya yang ambilkan nasi.” Sadha pun mengajukan bantuannya kembali.

“Aku makan satu sendok nasi saja, Mas. Isi telur saja. Yang banyak sayurnya.”

Walau kaget tawaran diterima sang istri, ia lekas menyendok nasi dan lauk pauk yang diminta Tarima. Gerakan tangan cukup cepat.

Lantas, diberikan pada sang istri. Wanita itu tersenyum simpul dengan tatapan mata yang tepat mengarah pada kedua maniknya.

“Makasih, Mas.”

“Iya.” Sadha hanya berhasil mengeluarkan satu patah kata karena detakan jantungnya yang mengencang secara tiba-tiba.

Demi mengalihkan atensi dari sang istri, ia fokus dengan makanan di atas meja.

Kemudian, diisi piringnya dengan masakan buatan Tarima secukupnya. Baru ditempati diri di kursi kosong sebelah sang istri.

“Mas Sadha …,”

Baru seperkian menit rasanya diakhiri kontak mata mereka, kini harus dipandang kembali Tarima karena wanita itu memanggilnya.

Mereka saling bersitatap cukup intens. Dan belum hilang rupanya pancaran keteduhan di sepasang netra cokelat Tarima padanya.

“Kenapa?” tanya Sadha kemudian.

“Apa Mas akan ikut denganku ke klinik?”

“Saya diizinkan menemani kamu ke sana?” Sadha melontarkan balik saja pertanyaan.

“Iya, Mas.”

Mulut sudah tertutup lagi. Tak memberikan komentar untuk membalas jawaban Tarima.

Namun, di dalam hati, ia merasa lega karena sang istri memperbolehkannya. Bahkan, wanita itu yang mengajak terlebih dahulu.

“Aku akan pindah, Mas.”

“Ke mana?” Ditanggapi cepat pemberitahuan Tarima seraya mengingat koper-koper yang tadi dilihat di ruang tamu.

“Ke rumah kita, Mas.”

“Kita harus mulai tinggal satu atap.”

Sadha seketika terdiam. Efek merasa kaget akan jawaban diutarakan sang istri. Padahal, ia sempat mengira Tarima akan pergi jauh meninggalkan dirinya karena sudah muak

“Mas mau pindah dari apartemen bukan?”

“Saya akan pindah.” Sadha pun menjawab mantap. Ia setuju dengan ide Tarima.

“Kita akan tinggal bersama,” imbuhnya.

...........................

Gimana? Gimana?

Yokyok, 100 votes dulu buat part selanjutnya. Komen jan lupa.

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now