BAB 17

10.4K 623 23
                                    


Tarima sebenarnya ingin bersikap acuh tidak acuh dengan bagaimana reaksi Sadha akan hasil tes paternitas yang diberikan.

Namun, menyaksikan ketegangan ekspresi pria itu amat nyata terlihat. Tadi tertangkap pula tangan Sadha gemetar memegang lembaran kertas yang dirinya berikan.

“Tari …,”

Atensi dipindahkan ke sang sahabat.

“Aku dan Om Leo mau beli es krim, sambil pulang. Nggak apa-apa aku tinggal, ya?”

Tarima sebenarnya keberatan. Ia tak mau hanya berdua dengan sang suami.

Sayang, Kenanga mempunyai rencana yang kontras berkebalikan. Jadi, melarang pun, sang sahabat akan tetap pergi.

Dan ditunjukkan cepat anggukan kesetujuan.

“Makasih sudah jenguk, Kena, Pak Leo.”

Keduanya kompak mengangguk mengiyakan. Hanya melempar senyum, tanpa berkomentar apa pun. Termasuk berpamitan ke Sadha.

Keduanya seolah paham jika pria itu sedang enggan diganggu. Sadha pun nihil dalam memberikan respons, menoleh juga tidak.

Sebelum pergi, Kenanga memeluknya untuk sesaat, tanpa membisikkan apa-apa. Namun lewat tepukan di punggung, ia tahu sahabat baiknya tetap berusaha berikan dukungan

Kenang lantas bergegas menggandeng Leo Wisesa keluar dari ruang inap. Ia pun terus mengamati sampai keduanya menghilang.

Atmosfer ruangan rasanya kian senyap.

Tarima cukup bingung harus melakukan apa.

Rasa kantuk belum menyerang. Malahan ia diserang kebosanan karena sejak tadi lebih banyak diam di atas ranjang saja.

Namun, tetap harus diikuti nasihat dari dokter agar tidak berlebihan beraktivitas.

Jika besok kondisinya sudah bagus dan terus stabil, maka akan dibolehkan rawat jalan.

Getaran pada ponsel, membuat Tarima urung mendorong pandangan kembali pada sosok Sadha yang tak berkutik di sebelahnya.

Tarima menerima pesan dari Dirga. Lumayan panjang tulisan, sehingga ia harus membaca dengan saksama setiap kata di dalamnya.

Butuh semenit memahami.

Setelah meraih kesimpulan, tiba-tiba saja rasa panas menguasai dada karena marah.

Dialihkan cepat lantas atensi pada Sadha. Ia merasa perlu untuk melampiaskan kekesalan atas tuduhan kasar pria itu pada Dirga.

Tak cukup hanya dirinya yang dihina. Namun orang lain turut andil diperlakukan seenaknya.

Kenapa bisa ada makhluk seegois Sadha?

“Sudah baca hasilnya? Kecewa karena jauh dari ekspektasi yang dibayangkan?”

“Benci mengakui kebenaran, Mas?”

Tarima akan memulai pertengkaran.

Sang suami menoleh padanya. Mata pria itu pun langsung menjadi pusat pandangannya.

Tak ada sorot tajam seperti biasa.

Netra hitam pekat Sadha malahan tampak kosong. Tidak ada bayang dirinya, padahal sang suami memaku tatapan padanya.

Pikiran Sadha sedang tak di ruangan.

Kenapa keadaan pria itu tiba-tiba saja jadi memprihatinkan? Begitu terguncang dengan hasil tes paternitas yang didapatkan?”

Tidak. Ia tak boleh menaruh rasa kasihan yang berlebihan akan kondisi Sadha.

Pria itu pantas menderita.

“Aku sudah membuktikan bukan?” Tarima pun dengan sengaja tertawa sinis dalam upaya kian memprovokasi suami kontraknya.

“Aku nggak pernah berselingkuh.” Tarima menegaskan lagi. Suara lebih meninggi.

“Meratapi kenyataan sekarang?”

“Atau aku masih harus melakukan tes lainnya untuk memuaskan ketidakpercayaanmu soal kehamilanku, Mas?” Tarima menantang.

“Tapi rasanya tes apa pun yang akan aku ikuti, hasilnya akan tetap sama.”

Sadha masih belum bereaksi. Bahkan, tidak ada pergerakan. Berdiri mematung dengan atensi yang tetap terkunci padanya.

Mulut pria itu biasanya mahir merangkaikan kalimat-kalimat pedas menusuk untuknya, namun sepatah kata tak keluar kali ini.

Tarima yang sudah telanjur terbakar amarah, tidak akan suka melihat kebisuan Sadha. Ia ingin berdebat dengan pria itu.

“Sesuai pembicaraan awal, apa pun yang berkaitan dengan bayi aku kandung, tidak akan menjadi tanggung jawab, Mas Sadha.”

“Sekalipun bayiku adalah anakmu, Mas.”

Masih tak ada respons dari Sadha.

Harus bagaimana cara memprovokasi pria itu agar setidaknya mau bersuara?

Diamnya Sadha begitu membingungkan.

Apalagi, sang suami kontrak menunjukkan menerus ekspresi kepahitan yang membuat getaran rasa iba dalam dirinya bergolak.

Tidak. Ia tak boleh terjerembab kian dalam oleh jebakan perasaan ini. Terlebih, Sadha sudah sangat sering menyudutkannya.

“Minta maaf, Mas!”

“Minta maaf atas hinaan kasarmu selama ini!”

Ya, sejak tadi permintaan maaflah yang Tarima ingin dengar. Namun, tak kunjung diucapkan oleh sang suami kontrak.

Pria itu belum menyesal sama sekali?

Apa terlalu gengsi bagi pria kaya raya yang mempunyai kedudukan tinggi meminta maaf pada seorang wanita biasa sepertinya?

“Susah untuk minta maaf, hah?” Tarima pun kembali berteriak dengan segenap amarah.

Kali ini, sang suami kontrak bereaksi. Pria itu bergerak lebih mendekat ke arahnya.

Mata memandangnya dengan sorot yang terluka, tapi sungguh ia enggan peduli.

“Saya minta maaf.”

Hanya tiga patah kata. Itu pun dengan suara pelan dan laku dilontarkan oleh Sadha.

Tarima belum puas. Ia ingin melihat pria itu kesakitan karena telah menghinanya. Dan harusnya Sadha menangis meraung-raung.

Namun, pria itu bereaksi seperti patung.

“Saya akan menceraikan kamu, Tari.”

“Saya akan membebaskan kamu dari pernikahan yang membuat kamu tersiksa.”

............................

Gimana? Mau lanjutannya nggak? Komen dulu, yuk.

Enaknya ini dua orang diapakan ya?

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now