BAB 16

10.4K 569 18
                                    

"Kamu ingin menitip sesuatu, Kenanga? Apa makanan yang kamu mau?"

"Tidak? Sudah makan? Oke."

"Saya akan ke sana dengan Sadha. Sepuluh menit lagi kami akan sampai."

Ketika sang sahabat menyelesaikan obrolan di telepon dengan adik sepupunya, barulah Sadha berhenti berikan atensi pada Leo.

Nama Tarima tak ada disebut, yang artinya wanita itu aman, tak be

"Kita ke rumah sakit, Sadh."

Kawan baiknya sudah beranjak dari tempat duduk.

Sementara, ia nihil respons atas ajakan Leo.

Ya, tak akan pergi kemana pun selama dua jam kedepan, tetap di kafe.

"Lo nunggu apa lagi?"

Leo berjalan ke arahnya. Ia masih tetap diam.

Malah tak berkutik sama sekali, terlebih bangun.

Ditenggak kembali minuman sodanya yang tersisa setengah. Sayang, dampaknya tak cukup menyejukan panas di dalam dadanya.

Harusnya ia mabuk dengan alkohol, namun sudah bertahun-tahun tak pernah disentuh. Jika dipaksa minum, tubuhnya tidak akan siap.

"Cepat, Bung!"

"Gue tetap di sini." Sadha kian dingin bicara.

"Silakan, lo pergi sendiri."

"Jangan jadi bajingan." Leo memperingatkan.

"Bersikap sesuai usia dan tanggung jawab, Bung. Pria waras 'kan lo?"

Di antara kedua kawan baiknya, Leo Wisesa lebih cenderung memiliki kata-kata menampar dan mampu menyadarkannya seketika.

Masih dengan rasa berat, diangkat tubuh dari kursi. Bergerak mengikuti jejak Leo Wisesa yang sudah keluar dari kafe lebih dulu.

Mereka mengendarai mobil masing-masing.

Selama perjalanan, fokus tak sepenuhnya untuk menyetir, tapi terbelah dengan hal lain.

Sadha sengaja pergi meninggalkan rumah sakit sejak tiga jam lalu, hanya menempatkan dua ajudan untuk mengawasi Tarima.

Dikira mencari udara segar keluar akan berefek, sayang tidak berdampak sama sekali.

Amarah bergejolak terus menerus.

Apalagi, masih terbayang-bayang di benaknya kebersamaan Tarima dan mantan wanita itu.

Termasuk sikap provokatif ditunjukkan oleh Tarima untuk menguji emosinya.

Sialnya, ia tak bisa menerima.

Terutamanya, keinginan gila dari sang istri untuk mencari sosok ayah baru bagi bayi yang tengah dikandung. Dan mantan kekasih wanita itu menjadi kandidat tunggal.

Lantas bagaimana dengannya? Tentu tak akan dibiarkan Tarima bertindak semaunya.

Mereka bahkan belum resmi bercerai, namun dengan begitu percaya diri mencari suami pengganti. Wanita itu pikir akan dapat berpisah mudah darinya? Tidak pernah bisa.

Mereka memang sebatas terikat pernikahan kontrak, tapi bukan berarti tidak ada upaya untuk mengungkung wanita itu lebih lama dari perjanjian dibuat.

Istrinya tak akan dapat dimiliki orang lain.

"Sialan!"

Umpatan spontan terlolos, saat mata menangkap sosok sangat tak asing di areal parkir depan gedung rumah sakit.

Mantan kekasih Tarima Sarasvati.

Dada mulai bergemuruh dan panas.

Mobil yang dikemudikan, ditempatkan tepat di samping kendaraan pria itu.

Dirinya bergegas keluar.

Dihampiri sosok Dirga Yudha Pratama yang berdiri tak jauh darinya.

Pria itu memandangnya dingin, seolah mereka musuh bebuyutan turun temurun.

Padahal, baru kedua kali berjumpa.

"Anda ada keperluan dengan saya?"

Dirga rupanya cukup peka. Hanya saja gaya bicara pria muda itu begitu menantang. Ada semacam kemarahan terpancar di mata.

"Saya tidak pernah meniduri istri Anda."

Pernyataan yang bagaikan deklarasi penting. Terdengar begitu mantap di telinganya. Tapi justru semakin memanaskan dadanya.

"Berhentilah menuduh saya menghamili istri Anda, saya tidak pernah menyentuh Tarima."

"Kami tidak pernah sekalipun bercinta, waktu kami berpacaran. Dia wanita baik-baik."

Sadha sudah ingin melangkah mendekat ke Dirga, tapi pikirannya tiba-tiba melayang jauh ke masa lalu, saat memergoki Dewita satu ranjang dengan selingkuhan wanita itu.

Memori buruk tersebut berputar apik bagaikan film di benaknya. Menyebabkan kedua lutut melemas tiba-tiba. Perasaan tak enak.

Namun, ia harus segera mengenyahkan dari otaknya. Meraih kembali konsentrasi untuk menghadapi mantan kekasih istrinya.

"Kenapa dia ke rumahmu malam-malam?"

"Tiga bulan lalu." Sadha menekankan.

"Kalian benar tidak pernah bercinta?"

Bugh!

Sadha cukup kaget karena wajahnya menerima sambaran pukulan keras dari mantan kekasih sang istri secara tiba-tiba.

Untung, ia tak sampai terjerembab. Namun salah satu bibirnya berdarah.

Harus dibalas bukan penghinaan ini?

Tangan mengepal kuat, siap menghajar balik, tapi Leo Wisesa sudah lebih dulu datang.

Menjauhkan dirinya dari Dirga.

"Lo benar-benar tidak waras, Sadh."

Ingin sekali berteriak, tapi akal sehat tetap menyerukan jika ia harus tenang. Apalagi, beberapa orang melihat kegaduhan mereka.

Besok lagi, tak boleh ada berita dirinya di media publik. Citranya sebagai kader partai akan tercoreng. Ia tak boleh gegabah.

Dibiarkan sang sahabat menuntunnya masuk ke gedung rumah sakit. Menuju lantai dimana kamar inap ditempati Tarima berada.

Kakinya masih bisa terus melangkah, tapi tak dengan pikiran terus berkelana ke masa lalu.

Sekali memori buruk perselingkuhan Dewita terlintas di benak, maka akan butuh waktu beberapa jam untuk menghilangkannya.

"Kenapa dengan Kak Sadha?"

Mereka ternyata sudah tiba di tempat tujuan.

Didengar jelas pertanyaan Kenanga. Tapi, atensi tidak diberikan ke sang adik sepupu, melainkan tertuju pada Tarima di atas ranjang pasien.

Wanita itu menatapnya dengan sinis.

Lalu, diserahkan sebuah lembaran kertas kepadanya.

"Tes paternitas sudah keluar."

Tangan Sadha mendadak bergetar.

.....................................................................

Komennya mana nih? Komen yokyok.



Bayi Milik Suami DudaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora