BAB 23

11.5K 611 17
                                    


"Sengsara juga lo harus pisah dari Gauri, padahal kalian baru menikah lagi." Leo tak bisa tidak berceloteh akan cerita Affandra.

"Syarat dari Mama. Gue harus ikuti. Dengan begitu Gauri akan bisa diterima Mama."

"Sampai kapan Gauri di Singapura?"

"Dua bulan." Affandra menjawab cepat.

"Hahaha. Lama juga. Harus tahan banting lo menahan nafsu, ya, Fa." Leo menyindir halus.

"Bukan masalah." Affandra menjawab santai.

"Banyak-banyak semedi kamar mandi, Bung."

Affandra hanya bisa tertawa pelan mendengar ocehan sarat ejekan dari Leo Wisesa. Tidak akan dimasukkan ke dalam hati candaan sang sahabat. Dianggap angin lalu saja.

Mata terus mengarah pada angka yang menunjukkan lantai demi lantai, tengah mereka lewati, sebelum sampai di tujuan.

Dalam hitungan detik saja dibutuhkan untuk menjangkau lantai teratas perusahaan sang paman, tempat kantor Sadha berada.

Saat pintu lift membuka, mereka berdua pun bergegas keluar menuju tempat tujuan.

Benar, ruangan kerja sang sahabat.

Sekretaris pribadi Sadha menyambut ramah dan mempersilakan untuk masuk.

Tentu, kawan mereka ada di dalam.

Leo Wisesa spontan terkekeh menyaksikan Sadha bergelut dengan boks bayi, tengah dirakit serius oleh kawan baiknya itu.

Sementara, Affandra sigap mendekat seraya melepas jas digunakan. Ia akan membantu sang sepupu karena tahu cara merakitnya.

Apalagi, Sadha tampak kesulitan dengan kedua tangan masih diperban.

"Lo mau alih profesi, Bung?"

Sadha tidak menjawab celotehan menyindir dari Leo Wisesa. Masih fokus memutar baut guna memasang dinding kayu boks bayi.

Affandra membantu memegang. Tentu cukup berguna apa dilakukan sepupunya.

"Kasih ke Leo, tangan lo bisa bengkak."

"Gue bisa." Sadha menolak saran Affandra.

"Gue lebih bisa." Leo Wisesa menyuruh.

Sayang, kawan baiknya yang peka menolong, segera menyingkirkan dirinya dengan lekas mengambil alih apa tengah dilakukannya.

Leo Wisesa jelas cekatan dan cepat.

Sisa pekerjaan yang belum diselesaikan pun dituntaskan oleh kedua kawan baiknya. Ia tak diberikan ruang untuk ikut serta merakit.

Kemudian, dipilih mengalah. Dibiarkan kedua sahabatnya yang mengerjakan. Mereka juga pasti akan keras kepala membantunya.

Affandra mengarahkan bagian mana saja harus dipasang, sedangkan Leo Wisesa bertugas mengikuti instruksi-instruksi.

"Otak lo sudah kembali waras?"

Pertanyaan Leo Wisesa sepertinya akan jadi pembuka percakapan untuk mereka bertiga.

Affandra turut menoleh padanya, walaupun hanya sesaat. Mungkin ingin tahu bagaimana reaksinya atas pertanyaan sahabat mereka.

Sadha memilih bungkam, malas bicara.

"Atau perlu kita adu boxing biar otak lo bisa kembali waras, Bung?"

"Bisa diperhitungkan juga ide lo." Affandra menimpali tantangan dari Leo Wisesa.

"Hajar bagian kepala sepupu lo, Fa. Dengan begitu, fungsi otaknya kembali waras."

"Bisa gue coba." Affandra mengiyakan saja.

Sadha tetap diam. Sindiran-sindiran kedua kawan baiknya tak akan dimasukkan hati.

Mereka memang tidak bercanda juga.

Mungkin akan dilakukan aksi lanjutan oleh Affandra dan Leo Wisesa, tak sekadar lewat kata-kata pedas dalam menyindirnya.

Rencana keduanya kadang tidak terbaca. Ia sedang enggan memikirkan terlalu dalam apa pun yang ingin sahabat-sahabatnya lakukan.

Masalah rumah tangganya saja sudah cukup besar serta menyiksa pikiran hingga detik ini.

"Lo mau gugat cerai Tarima?" Affandra pun terang-terangan bertanya kali ini.

"Sepertinya." Sadha menjawab ragu.

Tentang permintaan kemarin pada sang istri, ia belum mendapat kepastian. Lantas dibuat kesimpulan jika wanita itu menolak untuk memberikan kesempatan yang diminta.

Pilihan terakhir tentu berpisah.

"Gue akan gugat Tarima secepatnya."

Dipindahkan pandangan ke Leo Wisesa yang tengah berdecak dengan cara sinis.

"Keputusan gue tetap sama, Bung. Lo cari pengacara lain untuk mewakili lo di sidang."

"Gue angkat tangan ngurus ketidakwarasan lo mengambil keputusan untuk masalah lo."

Sadha tak merespons ucapan sang sahabat.

"Lo bajingan, Sad."

Sang sepupu giliran memaki dirinya kasar.

Mereka pasti akan kompak menghujatnya. Ia tak bisa mendapat dukungan atas jalan keluar yang dipilih karena menurut mereka salah.

"Lo harus berkaca dari kasus gue, Sad. Lo jangan sampai salah ambil keputusan."

"Lo sendiri tahu, gue dan Gauri jadi bercerai karena gue ego tidak selalu mengutamakan dia. Bisnis yang gue prioritaskan."

"Setelah kami pisah, gue bodoh baru sadar gue sayang Gauri. Gue coba ajak dia rujuk."

"Gue juga mati-matian berusaha meyakinkan Gauri buat rujuk dan membesarkan bayi kami bersama, walau Gauri ragu menerima gue."

"Nah lo, Tarima sedang hamil anak lo, malah lo ambil keputusan menceraikan dia."

"Harusnya lo bertanggung jawab penuh pada istri dan calon anak kalian. Bukannya lo juga cinta Tarima dari dulu? Lo mesti gentle, Sad."

"Gue setuju, Fa. Otaknya harus waras."

Sadha masih tidak berkomentar.

"Lo harus lebih agresif, Sad."

"Agresif tapi tidak memaksa."

"Misal?" Sadha pun tertarik dengan ide yang diberikan oleh sang sepupu.

"Lo harus lebih berani mengungkap perasaan lo ke Tarima sungguh-sungguh."

"Ajak Tarima makan malam, beri dia hadiah. Wanita suka diperlakukan spesial."

Sadha berusaha menyerap semua ucapan Affandra. Tentu akan dijadikan referensi.

Tak ada salah mencoba lebih agresif bukan?

.....................

Yok, Mas Sadha nempel-nempel sama istrinya.

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now