BAB 11

11.1K 629 25
                                    


Sesuai jadwal, tes paternitas dilakukan hari ini, tepatnya pukul sembilan pagi tadi.

Sadha jelas datang untuk mengikuti.

Selama proses berlangsung, tidak ada satu pun pembicaraan terjadi di antara mereka. Begitu juga saat sudah selesai, ia pulang tanpa mengatakan apa-apa pada Sadha.

Ya, Tarima sangat enggan memulai obrolan apa pun dengan suami kontraknya itu, setelah mereka beradu mulut hebat seminggu lalu.

Tarima bukanlah pemaaf. Sampai kapan pun kata-kata menghina pria itu akan membekas. Harga dirinya sudah telanjur diinjak.

Setiap malam, sang suami masih senantiasa datang ke rumahnya. Berjaga di teras depan layaknya satpam. Memuakkan? Sudah jelas.

Jika pun tujuannya bagus, Tarima merasa tak perlu dijaga oleh pria itu. Ia bisa melindungi diri dan juga calon bayinya dengan baik.

Alangkah lebih baik jika tak bersinggungan dengan Sadha. Hatinya akan damai tanpa tertekan akan kehadiran sang suami kontrak.

Tapi, siapa bisa menghentikan Sadha? Pria itu bertindak semaunya, tanpa peduli akan perasaan orang lain, apalagi dirinya.

Pencegahan yang bisa Tarima lakukan yakni menutup pintu rumah serapat mungkin agar Sadha tak punya akses masuk, terutama ke kamar calon bayinya lagi seperti tempo hari.

“Keponakanku sehat-sehat saja, nih. Detak jantungnya bagus, Tari.”

“Serius?” Tarima memastikan kembali.

“Iya, Bebh.”

“Ukurannya semakin besar. Sudah sesuai dengan usia kandungan yang normal.”

Pokoknya keponakanku sehat.”

Komentar sang sahabat tak dibalas, fokusnya tertuju penuh ke layar yang menampakkan sosok kecil calon buah hatinya.

Tarima pun mendengarkan saksama bunyi yang dihasilkan oleh mesin, menunjukkan bagaimana suara degup jantung janinnya.

Bukan pertama kali, namun derai air mata Tarima selalu mampu terundang keluar.

Sangat haru akan perkembangan jabang bayinya yang bagus sejauh ini. Dan semoga selalu tumbuh dengan baik agar nanti lahir sehat, tak kekurangan satu hal pun.

Sebulan lagi, akan dilakukan juga tes NIPT, upaya memastikan jika calon buah hatinya tak memiliki kelainan yang membahayakan.

Sangat berharap jika bayinya akan menyecap kehidupan perdana dengan fisik sempurna tanpa cacat. Itulah yang terpenting baginya.

“Jangan nangis, Bebh. Aku mau ikutan nangis kalau lihat kamu nangis, Tari.”

Didengar ucapan Kenanga. Dan bukannya berhenti, air mata semakin tumpah banyak.

Sang sahabat menghampirinya. Memeluk dengan erat. Memberikan tempat sandaran untuknya merasa aman menangis.

“Kamu kuat, Bebh.”

Tarima membiasakan diri untuk tegar, tapi sejak hamil, hatinya mudah rapuh. Apalagi, jika berkaitan dengan calon bayinya.

Setiap melakukan pemeriksaan ke dokter, seperti sore ini juga, maka air mata berderai dengan hebat tanpa bisa dicegahnya.

Tarima merasa sendiri. Tak ada keluarga. Dan yang bersamanya hanya Kenanga.

Ya, mungkin nanti setelah buah hatinya lahir, ia tidak akan terlalu kesepian lagi. Ada sosok malaikat kecil mengisi hari-harinya.

“Tadi, aku lihat jenis kelamin keponakanku.”

Langsung dilepaskan pelukan kawan baiknya. Memandang Kenanga dengan serius. Ada rasa kaget akan pemberitahuan sahabatnya.

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now