BAB 13

10.3K 537 16
                                    

"Kenanga?" Nama sang sahabat digumamkan pelan, saat berhasil meraih suaranya. Walau dengan kerongkongan yang terasa kering.

Kawan baiknya tengah duduk di sofa, segera saja berjalan ke arah ranjang pasien.

Sesampai di depannya, Kenanga pun segera memeluknya. Ia juga lekas membalas.

Tangisnya mulai tumpah dalam air mata yang keluar deras dari kedua netranya.

Suasana hati belum membaik sepenuhnya, memicu pergolakan perasaan timbul. Dan ia hanya bisa ungkapkan dengan tangisan.

Benci terlihat cengeng sebenarnya, tapi tak ada cara lain untuk menumpahkan perkecamukan di dalam dirinya saat ini.

"Ada aku, Tari. Kamu nggak sendirian."

Tak bisa dijawab ucapan sang sahabat, tapi pelukan pada Kenanga semakin dieratkan. Butuh teman untuk menyandar sebentar.

Tarima sudah terjaga sejak beberapa menit lalu, hanya saja masih memejamkan mata dan hanyut akan pikirannya sendiri.

Dalam netranya yang gelap, ia pun memutar satu demi satu kejadian buruk telah menimpa dirinya kemarin. Masih membayang jelas.

Terutama, peristiwa pendarahan dialami.

Begitu banyak cairan merah itu keluar dari pangkal pahanya. Ia dihantam kecemasan luar biasa akan nasib calon bayinya.

Pikiran teramat kalut dengan asumsi-asumsi negatif yang mengubur ketenangannya.

Barulah setelah dinyatakan janin di dalam rahimnya bisa diselamatkan, ia bisa bernapas lega dengan segenap rasa syukur karena semesta masih begitu baik padanya.

"Kena ...," Dilepaskan pelukan dari sang sahabat.

"Makasih banyak udah nolong aku." Tarima berucap dalam ketulusan sungguh-sungguh.

Ya, sang sahabatlah menangani dirinya saat pendarahan. Kenanga tentu dokter yang sudah berpengalaman, sehingga bisa melakukan tindakan medis terbaik untuknya.

"Aku senang kamu dan calon keponakanku baik-baik saja, tapi tetap jaga diri, ya."

"Jangan siksa diri dengan beban pikiran ruwet. Jangan capek fisik juga. Kamu harus jaga kesehatan, Tari."

"Makasih banyak, Kena."

"Aku ada permintaan, apa bisa kamu bantu?" Tarima harus mengutarakan maksud segera.

"Mau minta apa? Jangan yang aneh-aneh kayak waktu ini."

"Apa kamu bisa bantu aku pindah kamar?" Tarima bertanya serius.

Sang sahabat hanya mengernyitkan dahi. Tanpa merespons.

"Aku nggak sanggup bayar kamar VIP PREMIUM ini, harganya semalam 25 juta 'kan?"

"Kamu bilang aku belum boleh pulang, harus rawat inap sampai lusa."

"Pindahkan aku ke kamar inap kelas III, yah? Tolong, Kena." Tarima masih sungguh-sungguh.

Dirinya harus menghemat uang sebanyak mungkin, termasuk untuk biaya perawatan kali ini.

Perjalanannya masih panjang sampai tiba melahirkan nanti. Tabungannya harus dijaga, jika ada kejadian tidak terduga kelak menimpanya lagi.

"Kena?" Tarima ingin segera mendapat tanggapan.

"Kamu mau pindah? Buat apa,Tari?"

"Kamu itu bagian dari keluarga Weltz. Dan kata Papaku, setiap anggota keluarga Weltz harus menempati unit VIP PREMIUM yang dirawat di rumah sakit ini."

"Lagian Paman Budha juga salah satu investor tetap di rumah sakit ini."

"Aku nggak mau berhutang semakin banyak pada keluarga Mas Sadha, Kena."

Jika masih bisa membayar biaya perawatan sendiri, ia enggan melibatkan orang lain untuk membantu, apalagi mengatasnamakan orangtua suaminya.

"Kena, aku pindah kamar, bisa 'kan?"

"Lebih baik kamu tetap di sini, Tari."

"Tapi, aku nggak mau berhutang banyak pada ke–"

"Aku yang tanggung jawab, Bebh."

"Semua tanggungan di kamar ini, aku yang akan bantu kamu, Tari."

"Jangan pikirkan masalah biayanya, fokus saja dulu biar kamu pulih. Kamu masih ingin lihat bayi kamu lahir?"

Tarima mengangguk lemah.

"Nah, nggak usah ruwet memikirkan biayanya, aku akan bantu pokoknya."

"Aku merepotkan kamu, Kena. Maaf, aku cuma jadi benalu."

"Kita sahabat, Tari. Harus saling bantu."

"Aku bakal nyicil ya bayar tagihan kamar ini ke kamu, Kena."

"Nggak perlu, Tari. Aku mau menolong kamu dengan apa yang aku bisa."

"Makasih banyak, Kena." Tarima merasa haru. Dipeluk lagi sahabat baiknya.

Namun, tak berlangsung karena ponsel Kenanga berbunyi.

Jelas segera diangkat oleh kawan baiknya.

"Selamat pagi, Kak Sadha."

"Keadaan Tari? Dia sudah stabil."

"Kak Sadha kapan akan ke sini? Setelah rapat partai selesai?"

"Ajudan-ajudan Kak Sadha? Mereka berjaga di depan pintu selalu."

"Oke, Kak Sadha. Aku akan minta beberapa suster juga menjaga Tari."

Tarima sudah pasti mendengar semua jawaban dilontarkan Kenanga, namun tidak dengan ucapan-ucapan sang suami di seberang telepon.

Walau begitu, ia sudah meraih sebuah kesimpulan sendiri.

Sadha Putra Panca akan semakin ketat mengawasinya, setelah pendarahan dialami.

Sudah jelas pria itu tak ingin peristiwa buruk terjadi kembali pada calon bayinya yang sangat berharga bagi kepentingan sang suami sebagai seorang pewaris.

Pertolongan Sadha semalam tidak akan pernah dilupakan, pasti diingat. Suatu hari patut dibalas, namun bukan menggadaikan calon buah hatinya.

Harus bisa dilepaskan dirinya dari pria itu, bagaimana pun caranya.

Kabur dari rumah sakit? Rasanya cukup menantang.

"Tari ...,"

Lamunan seketika buyar karena panggilan sang sahabat.

"Kenapa, Kena?" Sudah dialihkan atensi ke sang sahabat.

"Ada yang kamu butuhkan? Aku harus pergi karena ada praktik di poliklinik."

Tarima menggeleng mantap. "Nggak ada. Aku mau tidur lagi."

Tentu, jawabannya adalah dusta.

"Nggak apa-apa aku tinggal?"

"Nggak apa-apa, Kena. Kondisiku sudah bagus."

"Kalau perut kamu kram atau sakit, cepat telepon aku, ya."

Kepala dianggukkan cepat. "Iya, Kena."

"Makasih banyak."

Sang sahabat tak berkata kembali, lalu melangkah perlahan menjauhi ranjang.

"Kena ...," Tarima memanggil karena punya pertanyaan penting.

"Di gedung ini, ada pintu darurat?"

"Ada. Persis di samping kamar ini, Tari."

Tarima hanya mengangguk pelan. Namun, di dalam kepala, ia sudah memikirkan misi kabur lewat pintu darurat dengan mengelabui para pengawal ditugaskan Sadha.

.............................

Adakah yang masih menunggu Mas Sadha tobat? Ayok komen yokyok.

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now