21 : Ide Bisa Datang Dari Mana Saja

3.5K 780 315
                                    

Sena mengantre masuk ke dalam badan pesawat. Begitu panggilan keberangkatan menuju Bandung berkumandang melalui pengeras suara, Sena bergegas menuju area pemeriksaan lalu menyodorkan tiket beserta kartu identitas pada petugas. Karena refleks yang cepat itulah, Sena saat ini berada di deretan depan.

Dua pramugari menyapa setiap penumpang pesawat yang masuk. Sena hanya membalas dengan senyuman tentatif setelah berhasil mengambil koran di sebelahnya. Bagian dalam pesawat masih terlihat agak kosong. Dengan leluasa, Sena menaruh ranselnya di kabin persis di atas tempat duduknya.

Sena duduk di dekat jendela meskipun itu bukan kursinya. Hanya tarikan napas berat yang keluar setelah Sena melirik bagian luar.

"Dari banyaknya kursi, kenapa kebagian yang sayap sih?" protes Sena spontan. Yang untungnya hanya diucapkan dalam hati, jadi tidak ada yang tahu selain dirinya sendiri. Sena berharap telinganya selamat dari dengingan yang menyiksa.

Sena yang terlalu fokus pada bagian luar tidak menyadari kalau dia tengah dipanggil seseorang.

"Mas! Mas!"

Sena baru merasa ada yang memanggilnya setelah suara itu menghilang. Sena menoleh dan menemukan cewek dengan wajah yang tidak asing sedang berbicara dengan pria tua.

"Terima kasih, Pak," ucap cewek itu sambil tersenyum, kemudian dia segera masuk agar penumpang lainnya bisa mendapatkan akses jalan. Cewek itu menatap Sena dengan tatapan kesal, mengingat dirinya berusaha minta tolong tapi tidak digubris. Untung saja ada bapak-bapak berhati malaikat yang peka.

Sena agak membesarkan bola matanya. Tidak tahu kenapa cewek itu tiba-tiba seperti kesal padanya.

Begitu raut wajah cewek itu berubah jadi sedikit kebingungan, Sena membuka suara, "Lo yang duduk di sini ya? Gue harusnya duduk di tengah."

Sena hendak bangkit namun pergerakannya terhenti karena cewek itu membiarkan adanya pertukaran tempat duduk. Berhubung Sena suka melihat-lihat selama perjalanan, jadi Sena tidak memprotes sama sekali.

"Mbak, namanya Chelsea Wulandari, 'kan?" tanya Sena akhirnya memberanikan diri.

Cewek itu hanya mengiyakan lalu memilih untuk mengambil buku petunjuk keselamatan yang ada di hadapannya dan mulai serius membaca.

Beberapa menit terlewati dengan suasana canggung. Hampir semua kursi penumpang terpenuhi kecuali satu, kursi di sebelah Chelsea Wulandari. Seolah-olah kursi itu sengaja dikosongkan oleh takdir supaya tidak ada orang ketiga di antara keduanya.

Detik-detik sebelum pesawat lepas landas adalah salah satu momentum paling menegangkan selama perjalanan udara. Sena melirik orang di sebelahnya karena takut kenapa-napa berhubung dari tadi tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Sena ingin tertawa melihat betapa tegangnya Chelsea Wulandari. Tubuhnya kaku, matanya terpejam, dan jari-jari tangannya saling terpaut satu sama lain. Dia menunduk dan berkomat-kamit tanpa bisa diterjemahkan oleh Sena saking pelannya.

Dengan hati-hati, Sena menepuk bahu cewek itu. "Mbak, nggak papa?" tanya Sena to the point.

Cewek itu enggan menatap balik Sena. Lalu ia merespons, "Gue bukan mbak lo dan lo juga pasti tahu jawabannya."

Sena tidak tahu harus berbuat apa. Ketika Sena mau bertanya lebih jauh, cewek itu lebih dulu berbicara dengan suara agak bergetar. "Gue baru pertama ini naik pesawat. Serem tau. Ini udah lepas landas atau belum sih?"

"Coba aja lo buka mata," kata Sena seserius mungkin.

Seperti tersugesti, Chelsea Wulandari mengikuti perkataan Sena. Cewek itu membuka mata dan spontan mengenggam satu tangan Sena dengan erat seiring pesawat mereka lepas landas.

Sena langsung menoleh ke Chelsea Wulandari yang memejamkan matanya kembali lalu beralih memerhatikan tangannya yang sedang digenggam cewek itu.

Entah kenapa Sena jadi senyum-senyum sendiri, terlebih saat mengingat ceramah Clara empat hari yang lalu.

"Kalau ada yang ngeluh nggak bisa nulis karena nggak ada ide, itu mah bullshit. Alasan doang. Ide bisa datang dari mana saja. Dari imajinasi paling liar sekali pun, film, lagu, jalan-jalan, cerita orang, apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita rasakan, dan bisa juga dari... pengalaman diri sendiri."

Bayangan dalam pikiran Sena memudar ketika cewek itu tiba-tiba tersadar. "Sorry," katanya singkat lalu salah tingkah sendiri.

"Santai aja," balas Sena sambil ikut salah tingkah.

Sena mengambil brosur yang ada di hadapannya dan berpura-pura membaca.

"Lo bisa baca kalau tulisannya kebalik? Jinjja! Wow, daebak!" Cewek itu melirik Sena lalu terkekeh pelan.

Sena menggaruk lehernya yang tidak gatal kemudian memutar brosur itu seratus delapan puluh derajat.

Tak lama kemudian, cewek itu memilih untuk tidur dan Sena lebih memilih untuk melihat-lihat pemandangan di luar jendela.

"Kayaknya asik nih dijadiin cerita. Ah, iya! Gue lupa. Gue malah uninstall wattpad gara-gara kepenuhan memori habis install game. Ntar deh, buka wattpad lewat laptop," kata Sena dalam hati. 

Beberapa detik setelahnya, Sena kembali menggalau, "Sekarang notif gue udah berapa ya? Followers gue udah nambah berapa? Harusnya gue iyain aja pas Clara mau follback. Eh, Clara udah follback gue belum ya? Dan sekarang gulagula lagi ngapain ya?"

Writer VS ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang