BAB 10

1.5K 114 6
                                    

"Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan daripada mencintai tapi tak pernah terbalaskan? Kehilangan. Saat kamu mencintai namun tidak pernah mendapat balasan, itu memang menyakitkan. Tapi, lebih menyakitkan lagi jika kamu kehilangan sesuatu yang selama ini selalu ada di dekatmu dan tiba-tiba saja sesuatu itu menghilang seperti direnggut paksa dari dirimu." Alea Livindar

***

Hari berganti begitu cepat. Alea kini memandang pantulan dirinya pada cermin yang tergantung tepat di atas meja riasnya. Gadis itu memberikan senyuman tipisnya. Setelah izin untuk tidak masuk sekolah selama dua hari, akhirnya Alea memutuskan untuk masuk hari ini—lagi pula, dirinya sudah merasa lebih baik dari sebelumnya dan ia tidak lagi merasakan lemas yang teramat parah ketika beraktifitas.

Helaan nafas lolos dari bibirnya. Hari ini adalah hari pertama dirinya masuk ke sekolah kembali dan pastinya hari pertama ia akan kembali bertemu dengan Rayhan. Memikirkan hal itu membuat kepala Alea berdenyut sakit.

"It's okey, Alea. Kamu nggak perlu peduliin dia lagi. Cukup nyapa dan... selesai," gumam Alea pada dirinya sendiri.

Gadis itu kembali mengarahkan matanya pada pantulan dirinya sebelum akhirnya meraih tasnya dan berjalan keluar dari dalam kamarnya—menuju ruang makan; karena sedari tadi Sandy sudah meneriaki dirinya untuk segera turun dan sarapan.

"Pagiii," sapa Alea sembari memberikan cengiran lebarnya. Namun, gadis itu mengerutkan keningnya ketika hanya mendapati Sandy yang duduk di ruang makan.

"Loh? Abang kok cuman sendirian di sini? Yang lain pada ke mana?" tanya Alea sembari duduk tepat di samping Sandy. Gadis itu meraih roti tawar dan mengoleskan selai cokelat kesukaannya.

Sandy menganggukkan kepalanya. "Mama, papa sama adek udah pergi duluan tadi. Katanya mau cari hadiah dulu buat gurunya adek yang ulang tahun," jelas Sandy sembari kembali mengunyah roti miliknya.

Alea yang mendengar penjelasan dari Sandy pun mengernyitkan keningnya. "Emang jam segini udah ada toko yang buka, Bang?" tanya Alea sembari melirik jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya.

Sandy terkekeh pelan. "Nggak tau, biarin aja itu mah urusannya mama sama papa yang nyariin toko," jawabnya cuek.

"Kamu serius mau masuk sekolah sekarang? Nggak mau istirahat lagi dulu aja?" tanya Sandy sembari menatap lurus pada Alea yang kini sibuk mengunyah roti miliknya.

Alea mengangguk pelan. "Nggak, Bang. Udah cukup istirahatnya, lagian aku takut ketinggalan banyak pelajaran kalau nggak masuk sekolah kelamaan," jawabnya sembari menyuap potongan terakhir roti miliknya.

Sandy mengangkat sebelah alis matanya. "Takut ketinggalan pelajaran atau takut kangen sama si cowok brengsek itu?" tanya Sandy yang tiba-tiba saja nada bicaranya menjadi sinis.

Alea yang mendengar itu pun tersenyum tipis. "Nggak usah ngomongin dia lagi, Bang. Aku udah nggak peduli sama semua tentang dia lagi, Bang," jawab Alea sembari menghela nafasnya, terdengar berat.

Sandy mengerjapkan matanya, terlihat bingung dengan ucapan adiknya barusan. "Kamu serius ngomong kayak tadi?" tanya Sandy yang masih tidak percaya dengan apa yang didengar olehnya tadi.

Alea yang mendengar pertanyaan dari Sandy pun mengangguk mantap. "Abang bener, nggak seharusnya aku kayak gini—nggak seharusnya aku mencintai tapi membuat diri aku menjadi bodoh. Selama sakit kemarin, aku udah pikirin matang-matang kalau ini saatnya; ini saatnya untuk aku berhenti mengejar, mundur dari langkah yang salah." Alea menarik nafasnya, dadanya selalu saja terasa sesak jika membahas soal Rayhan.

Fight for Love (Completed)Where stories live. Discover now