Chapter 1: Who's He?

435 49 4
                                    

Bandung, Maret 2016

Semilir angin lembut menerpa kawasan yang biasa disebut kantin oleh para mahasiswa yang menuntut ilmu di kampus itu. Pepohonan rindang yang tumbuh di sekitar kantin tersebut melengkapi suasana asri dan sejuk, membuat setiap orang betah untuk berlama-lama di sana.

Pemandangan kantin pada siang hari ini terlihat sedikit berbeda. Jika biasanya setiap meja terisi penuh dengan mahasiswa yang hendak menikmati makan siangnya, kali ini justru terlihat sepi. Hanya ada beberapa meja saja yang terisi.

Tepat di salah satu meja kantin tampak seorang gadis yang tengah membaca. Ia begitu larut dalam buku bacaannya. Segelas es jeruk yang dipesannya sebagai teman membaca terlihat masih utuh sama sekali tak tersentuh.

Sesekali ia hanya menyisipkan helai rambutnya yang tersibak oleh angin ke belakang daun telinga.

"SANAAAAAAA ...."

Merasa terpanggil, Sana mengalihkan fokusnya ke arah sumber suara. Sekilas ia tersenyum lalu melambaikan tangannya pada seorang gadis yang meneriakkan namanya. Gadis dengan rambut pigtail nya itu tengah berlari menuju ke arahnya.

"Duuuh maaf ya gue lama, gue kena omel dulu sama pak Ichul tadi." Gadis tersebut menjelaskan sembari buru-buru duduk di hadapan Sana yang telah kembali tenggelam pada buku bacaanya. Nafasnya masih terengah-engah karena berlari tadi.

Sana menghela nafas lalu menutup buku bacaannnya. Ia meletakkan buku itu di atas meja lalu melepas kacamata bacanya. Ditatapnya mata sahabatnya itu dalam.

"Gapapa ko. Momo ga perlu sampe lari-lari juga kali. Tuuh jadi ngos-ngosan gitu kan," tuturnya lembut dengan senyum merekah khas seorang Sana.

Gadis yang diketahui bernama Momo itu terkekeh pelan sambil berusaha mengatur kembali irama nafasnya. Pandangannya beralih pada segelas es jeruk di sebelah buku milik Sana. "Ini minum lo kan? Gue haus, minta yaaa."

Sebelum mendapat persetujuan dari sang empunya, Momo langsung menyeruput habis setengah gelas dari es jeruk yang masih utuh tersebut. Sambil bertopang dagu, Sana memperhatikan sahabat yang dikenalnya sejak SMA itu. "Oiya, Jennie kemana?"

Momo hanya bisa mengedikkan bahunya tanda tak tahu.

Sana mengernyit heran. "Loh bukannya tadi kalian ngumpulin tugas bareng ke ruangan pak Ichul?" tanya Sana.

Momo berusaha mengingat lalu menepuk keningnya. "Astaga gue lupa, tadi kan Jennie gue suruh nunggu di sekre COPA."

Momo segera bangkit dari tempat duduknya lalu buru-buru menyambar mini backpack miliknya di meja. Ia berniat menjemput Jennie yang ia tinggalkan begitu saja. "Bisa ngamuk nih si singa Afrika kalo tau gue tinggal duluan ke kantin."

Ketika Momo hendak melangkah meninggalkan meja, netranya menangkap sosok yang baru saja diperbincangkan tengah melangkah ke arah kantin. "Yah mati deh gue," gumamnya.

Sana melihat arah pandang Momo dan tertawa kecil.

"Loh, ga jadi Mo nyamperin Jennie?" Sana dengan senyum jahilnya bermaksud menggoda Momo yang kembali duduk.

"Kalo gue tewas hari ini gue pengen lo tau San, kalo lo sahabat yang paling gue sayang," sahut Momo yang hanya bisa bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi padanya nanti.

Bukan tanpa alasan Momo mengatakan hal itu. Jennie terkenal menyeramkan ketika sedang marah. Ditambah lagi ia adalah seorang pemegang sabuk hitam karate. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa tak boleh ada yang berani macam-macam dengannya jika masih sayang nyawa.

Hubungan Momo dan Jennie memang bagai kucing dan anjing, jarang sekali akur. Bukan sekali dua kali Jennie dibuat jengkel oleh Momo yang kadang pelupa dan seringkali telat berpikir alias lemot. Namun sebenarnya mereka berdua adalah sahabat yang saling membutuhkan dan menyayangi satu sama lain.

You in My HeartWhere stories live. Discover now