Chapter 22: Quadrilateral

175 26 4
                                    

Bandung, Juni 2016

Suara hentakkan musik elektro menggema ke seluruh ruang cafe & bar yang masih belum terlalu ramai pengunjung. Hanya ada beberapa meja dan kursi yang terisi. Bar lounge yang tersedia pun sepi. Maklum saja ini masih sore hari. Di akhir pekan seperti sekarang, tempat berkumpulnya anak muda itu baru akan terasa hingar bingarnya saat malam tiba.

Pada salah satu spot di ujung ruangan, tampak sebuah meja telah dipenuhi oleh botol-botol dan gelas minuman. Table itu sudah diisi oleh empat orang pemuda yang asyik bercakap-cakap. Tawa terbahak sesekali terdengar dari perbincangan santai tersebut.

Tidak lama, salah seorang dari mereka memisahkan diri dari obrolan. Ia sibuk memainkan gadget di genggaman. Lambat laun itu mengundang perhatian dari tiga orang lainnya. Pemuda bersurai gelap dengan highlight cokelat terang coba mengintip apa yang sedang dilakukan sosok tersebut di ponselnya.

"Isyana? Siapa tuh?"

Menyadari privasinya diintip, si lelaki pemilik tatapan teduh itu menyeringai. "Kepo lo Juned."

"Akhirnya yaa ... bergerak juga lo." Pemuda tinggi blasteran ikut berceloteh.

Lelaki berkulit putih dengan rambut kecokelatannya terlihat penasaran. Matanya menyipit hingga makin minimalis. "Isyana itu Sana bukan sih, Bang John?"

Pemuda jangkung yang ditanyai mengangguk.

"Sana siapa sih, Win?"

"Ah, si June mah kudet nih."

"Juned kebanyakan mikirin si Mani ... eh Mima ...." ucap lelaki jangkung lalu terhenti sejenak sambil berpikir keras mengingat sebuah nama. Bibirnya bergerak tanpa suara melafalkan nama-nama dalam ingatan.

"Yaelah, Mina Baaang ... Mina," seloroh pemuda putih bermata minimalis coba membantu. "Gitu aja susah amat."

"Bangsat! Kenapa nyambung ke situ sih?!" seru si lelaki tak kalah jangkung yang dipanggil June tadi.

"Ga usah ngegas Juned ...." Nada halus namun terdengar jelas itu keluar dari bibir pemuda yang masih memainkan ponsel. Aneh memang jika boleh dikatakan, tetapi suara lembutnya memberi efek merinding bagi siapa saja yang mendengar. Ia melirik June yang duduk di sebelahnya dengan sorot mata teduh, "Sana ini inceran gue."

"Eh tapi Bang ... rumor-rumornya nih, kan Sana pacaran sama anak sefakultasnya juga. Yang sama-sama pemain futsal kayak lo juga Bang."

Kali ini ditatapnya pemuda putih yang terlihat paling muda itu. Ia tersenyum miring. "Win, udah berapa kali gue bilang ..."

"... I've never lost my own game."

💑💑💑💑

Cahaya jingga menembus masuk melalui ventilasi sebuah ruangan senyap. Bayangan tirai tampak menari-nari tertiup angin sore yang menyelinap dari celah jendela yang sedikit terbuka. Siluet sosok jelita terlihat duduk manis di atas ranjang, ditemani sebuah buku dalam pangkuan. Dirinya berkonsentrasi penuh mengabsen setiap tulisan tangan yang tertulis rapih pada helaian kertas putih hingga tercerna di otaknya.

"Aaaa, Sana mumet ga hapal hapal." Keluh kesah terdengar keluar dari gadis tersebut diikuti bibir ranum yang mengerucut. Kedua lengannya mengacak surai kecokelatan frustrasi. Mungkin ia sudah mencapai batasan karena berjam-jam terus berkutat dalam bacaan. Walaupun akhir pekan, hal wajar bagi mahasiswa seperti dirinya memforsir waktu belajar di saat dua hari lagi menghadapi Ujian Akhir Semester.

You in My HeartOnde as histórias ganham vida. Descobre agora