Chapter 20: Signal

163 29 2
                                    

Dua muda-mudi duduk saling berhadapan pada kursi batu dengan meja bermaterial serupa di tengahnya. Sebuah pohon tua besar, kokoh, serta berdaun lebat menaungi tempat tersebut. Spot strategis bagi mahasiswa untuk bersantai di area kampus.

Semilir angin bertiup memberi kesegeran pada setiap insan di muka bumi. Pagi hari itu, sang surya seakan enggan bersinar seperti biasa. Langit jadi terlihat kelabu. Hal ini berbanding lurus dengan Sana yang bertingkah tak selayaknya. Jika di kala normal ia secerah mentari, namun hari ini sang gadis tampak mendung.

Paling tidak begitulah menurut pandangan pemuda yang saat ini mendampingi dara Bogor. Ada beberapa hal janggal menarik perhatiannya. Padahal sejak terakhir bertemu dua hari lalu, Sana masih bertingkah seperti biasa. Dalam benak ia bertanya-tanya, apa yang telah terjadi ketika dirinya bertolak ke ibukota?

Netra gelap sang pemain futsal menatap nanar sosok bidadari kampus yang sedang menyantap sarapan tanpa gairah. Ia hanya diam dan memperhatikan. Kaus putih berpadu overall motif bunga membuat si gadis terlalu manis hari ini. Namun bukan itu intensinya sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?"

Aktifitas makan Sana terhenti sejenak. Pemilik manik cokelat balik memandang lelaki tersebut. Ia coba mengulas senyum walau sekedarnya. "I'm okay Bin. Cuma ... sakit perut aja. Ini hari pertama Sana."

"Datang bulan?" tanya Hanbin lagi yang segera dibalas sebuah anggukan dari Sana.

Cuma itu? Hati kecil lelaki Libra mengatakan ada sesuatu yang lebih. Bukan bermaksud sok tahu, nyaris tiga bulan kenal bahkan tiga minggu terakhir selalu bersama membuatnya sedikit banyak hafal karakter dasar seorang Sana. Kelopak mata memicing dan kerutan di dahi muncul sebagai pertanda ragu. Namun kali ini, ia tak mendesak lebih jauh. "Sakit banget?"

"Mmh ... ya gitu pokoknya."

Lengan Hanbin merayap di meja, coba meraih punggung tangan yang terlipat pada ujung satunya. Diusap pelan kulit putih halus menggunakan ibu jari. "Kok ga bilang? Tau gitu tadi mampir ke minimarket dulu beli minuman datang bulan."

Mendengar penuturan Hanbin, si anak perawan jelita terkekeh. Ia menyadari betapa lucu ekspresi jajaka di hadapan ketika terlihat khawatir. "Belinya kan bisa nanti pulang dari kampus," jawab Sana kemudian. Sang pemuda pun mengangguk mengerti.

Kegiatan santap pagi Sana pun berlanjut. Tetapi setelah satu suapan, ia kembali terhenti. "Udah ah," ungkapnya seraya menutup kertas pembungkus warna cokelat rapih seperti sedia kala. Kemudian, bungkusan itu dimasukkan kembali dalam kantung plastik hitam.

"Loh, udah? Itu kan nasi uduk kesukaan kamu. Lima suap aja ga nyampe masa udah," protes Hanbin. Mendengar keluhan dari si pemuda, bibir Sana otomatis mengerucut. "Lagi ngga selera."

"Terus sekarang seleranya apa?"

"Sana lagi selera sama ...." Untai kata Mojang elok menggantung. Ia terdiam sejenak. Bola matanya bergerak naik seakan berpikir keras. Tak butuh waktu lama, tatapan dan senyum menggoda di tujukan pada sosok penasaran yang menanti jawaban.

"... kamu." Setelah menuturkan kalimat, lidah Sana tersembul di sudut bibir kiri lalu bergerak menyapu ke bagian atas. Aksi seduktif si gadis terus berlanjut dengan menggigit bibir bawah. Sorot netra liar seperti tengah melihat mangsa masih tersemat pada Hanbin yang kini bersusah payah menenggak saliva nya.

Selama beberapa detik, Hanbin serasa terhipnotis. Hingga suara kikikan geli akhirnya membuat ia sadar. "Dipikir aku Indomie kali jadi selera kamu," ujar lelaki keturunan Sunda yang tampak tersipu. Ia memutar bola mata karena tingkah Sana. Gadis tersebut lagi-lagi tertawa.

"Awas aja ya kamu kalo berani kayak gitu sama cowok lain."

"Hah apa, Bin?"

"Ah engga ...."

You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang