Bab 14

6 0 0
                                    


Seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang berjalan memasuki rumah besar seperti istana. Kedatangannya di sambut oleh pria tua yang kini memandu wanita itu menemui tuannya. Pria tua itu mengetuk pintu dua kali dan memberitahukan kedatangan si wanita.

Ketika mendengar suara yang mengizinkan dari dalam, wanita itu mendesak masuk tanpa menunggu pelayan tua itu membukakan pintu.

"Hammer," panggil wanita itu dengan nada menyentak. Dadanya naik-turun dengan mata menyalang menatap pria yang sedang berdiri memunggungi sambil memegang sebuah album foto.

Hammer memejamkan mata singkat lalu memerintahkan Eden meninggalkan mereka. Setelah kepergian Eden, wanita itu mulai mengeluh dengan suara tinggi. Mengeluarkan seluruh energi negatif yang selama ini di pendam. Rasa bersalah atas tindakan masa lalu menjadi sebab wanita itu mulai dihantui rasa khawatir berlebih.

"Kau mau aku melakukan apa? Itu terjadi sudah cukup lama dan tidak ada yang tahu kecuali mereka yang terlibat." Hammer menaruh album foto di meja kerja. Hammer tidak menatap lawan bicara di hadapannya. Mata seperti elang yang telah berkeriput itu lebih memilih memandangi foto yang ini menampilkan dirinya dua puluh tahun lalu yang gagah dan berhasil mencapai posisi terbaik di kemiliteran Heliparm.

"Mereka yang sudah tahu pun kini terbunuh. Bukankah ada pihak lain yang mengetahui hal itu dan ingin membalaskan dendam. Aku tidak mau mati seperti mereka!" Wanita itu menatap Hammer dengan mata berkaca dan wajah memerah. Wajah yang tidak terlihat seperti wanita berusia akhir tiga puluh.

"Tenangkan dirimu, Tiara. Kau hanya perlu diam dan bersikap biasa saja."

"Bagaimana bisa aku hanya diam saja! Saat kembali dari syuting di luar negeri, aku mendengar kabar kematian Federic lalu Johan. Aku akan meminta perlindungan dari kepolisian," ungkap Tiara.

Hammer mendelik pada Tiara. "Kau kira siapa yang memiliki kuasa atas kepolisian di Heliparm?" ucap Hammer sambil tersenyum meremeh.

Tiara bergeming menyadari posisi Hammer saat ini bisa didapatkan karena tangan kotornya. Ia diam dan menuruti apa yang diminta Hammer.

"Untuk terakhir kalinya, jangan pernah menunjukkan wajahmu di depanku. Berhenti mengeluh dan membicarakan masa lalu atau aku sendiri yang akan membuatmu diam," tandas Hammer dengan sorot mata tajam menatap Tiara.

Tiara dapat merasakan aura menusuk dari tatapan itu hingga membuat bulu kuduknya meremang, darah dalam dirinya pun berdesir hingga ujung kaki, tubuhnya seketika terasa seperti dikuliti perlahan. Ia tahu Hammer tidak akan segan untuk melakukan apa yang baru saja ia ucapkan, bibir merahnya lantas mengeluarkan suara decakkan sebelum keluar dari ruangan tersebut sambil menyenakkan kaki. Melihat punggung Tiara yang menghilang dari balik pintu, Hammer menghela napas berat. Matanya melirik pada album foto di atas meja. Ia membalik lembar album tersebut lalu tatapannya menjadi sendu.

Jemari tangan kanannya mengusap sebuah foto dirinya dengan sahabat terbaiknya selama sekolah di Sigmurd Gigs. Seorang sahabat yang menjadi saksi perjalanan Hammer meraih posisi terbaiknya di kemiliteran Heliparm dan yang selalu mememani di kala keadaan sulit sedang melandanya.

Semua kelakuan baik sahabatnya itu ditunjukkan bukan karena melihat status keluarga masing-masing, itulah yang membuat Hammer bisa dekat dengannya, ia berbeda dengan teman-teman lain yang memiliki maksud. Walau keduanya sama-sama dari keluarga tersohor, tetapi keluarga sahabatnya lebih memiliki nama. Akan tetapi, kenangan indah itu hanya sesaat. Semakin beranjak dewasa maka akan terasa lingkaran pertemanan akan mengecil. Bukan karena menjauhi tapi Hammer menyadari sudah tidak ada kecocokan satu sama lain.

Saat itu adalah hari yang dinantikan Hammer yang mengiginkan posisi di pemerintahan walau dia sudah memiliki posisi di kemiliteran. Menurutnya kekuasaan perlu untuk menidak keadilan Heliparm yang sedang dalam masa pelonjakkan angka kriminalitas.

Find The SinnerWhere stories live. Discover now