Bab 16

3 0 0
                                    


Rexon bergegas berjalan menuju ruang tunggu operasi. Napasnya memburu dan gurat kekhawatiran tercetak jelas di raut wajah. Ia berhenti berjalan ketika matanyanya menangkap sosok Teus yang sedang duduk termenung dengan kedua tangan saling bertaut di depan wajah, berdoa untuk keselamatan Robert yang berjuang di dalam kamar operasi.

"Teus," panggil Rexon setelah jarak di antara keduanya tidak begitu jauh. Teus menoleh saat menengar suara yang dikenalnya. Pria bermata biru itu berdiri menyambut ketadangan Rexon. Teus menceritakan apa yang terjadi pada Robert. Ia menerima telepon dari pihak rumah sakit karena nomornya telah di daftarkan pada sistem sebagai keluarga terdekat. Itu Teus lakukan pada seluruh anggota timnya.

"Robert dibawa dalam kondisi kritis. Dokter menyampaikan bahwa dia kehilangan banyak darah dan kemungkinan bertahan setelah operasi sangat kecil dan hanya bisa berharap tapi mereka akan melakukan tindakan semaksimal mereka mampu," jelas Teus dengan wajah sendu.

"Aku percaya dia akan selamat. Robert bukan orang yang lemah." Rexon menepuk punggung Teus, menyalurkan energi positif padanya.

Mereka duduk di bangku tunggu yang lengang. Rasanya suara nyamuk pun dapat terdengar jelas.

"Kenapa kau bisa ke sini? Bagaimana dengan TKP?" Teus bertanya setelah keheningan tercipta karena terlarut dalam pikiran masing-masing.

Rexon tersenyum lembut dan tatapannya teduh. Walau begitu ada sedikit emosi kecewa dan marah pada manik hijaunya. "Aku akan ke sana setelah memastikan kondisi Robert."

"... dan alasanku berada di sini," Rexon berlirih lalu menarik napas panjang. "karena pembunuh itu meneleponku." Senyum getir mengakhiri ucapan Rexon.

Teus membelalakkan mata. Beberapa saat rasanya sulit berpikir dan lidah menjadi kelu seketika. "Kau tidak sedang bercanda kan, Kapten?"

"Apa aku terlihat sedang bercanda?" Rexon membalas dengan wajah serius.

Teus menggeleng lemah sambil mengusap wajah. Umpatan terlirih dari mulutnya. Pikirannya kini menuju pada satu kesimpulan. Pembunuh yang sedang mereka kejar berhasil menghabisi target ketiga dan Robert tahu siapa pelakunya sehingga harus di bungkam. Lalu kecurigaannya sekarang mengarah pada satu orang yang tidak bisa dihubungi ataupun dilacak.

"Kau ingat suara rekaman percakapan Carlos?" Rexon mengelus dagu dengan satu tangan dan menatap ke depan.

"Iya," jawab Teus.

"Suara yang sama meneleponku saat aku mendapat laporan Tiara Chopin terbunuh di apartemennya. Dia memberitahuku untuk segera ke rumah sakit ini. Bukankah aneh jika dia tidak berada di dekat kita, karena aku tahu satu-satunya orang terakhir yang bersama Robert adalah ...." Rexon tidak kuasa melanjutkan.

Teus mengerti. Mereka berada pada dugaan yang sama. Kesaksian Robert diperlukan untuk menangkapnya, tapi apakah sempat sedangkan waktu mereka tidak banyak.

"Teus, kau carikan informasi tentang keluarga Amarily. Cari tahu apa yang terjadi pada kasus keluarga tersebut dan informasi tentang Alf," pinta Rexon. Setelah berperang dalam pikiran. Satu-satunya cara untuk menyelesaikannya adalah mencari tahu kebenaran berdasarkan kepingan-kepingan yang sudah terkumpul.

Kesaksian pamannya dan Alf adalah kunci siapa yang menjadi penjahat dalam kasus ini. Walau Rexon tidak ingin mengakuinya. Sungguh, hatinya terasa seperti bongkahan es yang dihancurkan hingga berkeping-keping. Rasanya sesak saat Rexon menyadari identitas pemilik suara yang merupakan sang pelaku pembunuhan berantai ini.

Rexon tidak ingin mempercayainya, tapi intuisi serta kepingan-kepingan informasi yang didapatkannya membuat analisinya mengarah pada satu kesimpulan. Ambisinya untuk menangkap pembunuh itu tidak semembara sebelumnya. Ada apa dengannya? Rexon benci dengan sikapnya yang ini, andaikan intuisinya salah, andaikan.

Find The SinnerWhere stories live. Discover now