Bab 17

13 0 0
                                    


Rexon mengendarai mobil dengan kecepatan penuh di tengah keramaian jalan Distrik Dua. Setelah di usir dari TKP dan dipermalukan di depan Zack, Rexon memilih pergi ke suatu tempat yang biasa ia kunjungi untuk merenungkan semua kejadian dan memikirkan langkah selanjutnya.

Tempat itu adalah sebuah bukit yang berada di perbatasan Distrik Satu dan Distrik Dua. Pada siang hari tempat ini ramai didatangi pengunjung dan biasanya Rexon akan datang pada saat langit dihiasi terangnya sinar bulan. Ia bisa masuk tanpa izin jika ada sesuatu yang membuatnya butuh ruang untuk sendiri atau hal bersifat pribadi.

Sebenarnya bukit yang memiliki tempat bagus untuk melihat bangunan dan tata letak Distrik Satu tersebut merupakan lahan milik keluarganya, yaitu keluarga Krovic. Setelah ayahnya gugur dalam misi lima belas tahun lalu, tempat ini bukan lagi menjadi milik keluarga Krovic.

Rexon bersandar pada pagar besi setinggi pinggang orang dewasa. Semilir angin malam menerpa kulit wajahnya membuat beberapa helai rambutnya menari-nari kecil di udara. Angin tersebut memberikannya ruang untuk bernapas dan rasa panas yang terasa dalam diri perlahan mulai menyejuk. Ia berharap dapat benar-benar memadamkan bara dalam diri dan memulihkan kepingan-kepingan hati yang berceceran.

Ia ingin sekali berteriak, sangat. Namun, apa dengan begitu emosinya juga akan terbawa oleh angin? Kedua tangannya bertumpu pada batas atas pagar, kedua tangan saling menggenggam, kepalanya tertunduk dan matanya terpejam menahan luapan emosi. Dadanya terasa sesak, ini sama seperti saat ia kehilangan kedua orang tuannya. Perasaan yang sangat ingin ia hindari. Kehilangan orang yang dipercayai dan kau sayangi seperti keluarga, ditambah kepercayaan itu dihianati hanya dalam sekejap mata. Apakah ada orang yang bisa melawan perasaan itu?

Rexon menggigit bibir bawahnya, "AAAAARRRRRGGHHH!"

Suaranya perlahan melemah, Rexon tidak ada tenaga lagi untuk berteriak bahkan kedua bahunya terlihat naik turun dengan cepat untuk mengatur napas. Sial, sial, sial! Kenapa harus seperti ini? ini tidak sesuai dengan perkiraannya.

Getaran ponsel di saku celananya menyadarkan Rexon kembali pada kenyataan. Nama Teus muncul pada layar ponselnya. Rexon menarik napas panjang, dirinya sudah memperkirakan apa yang akan Teus bicarakan padanya. Ia mengangkat telepon tersebut, benar saja suara menggebu Teus dengan segala protes dan umpatan langsung menyapa indra pendengaran. Rexon merasa tergelitik dan tidak sengaja lepas kendali hingga menimbulkan suara tawa yang tertahan.

"Aku sedang tidak bercanda, Rexon!" Teus merajuk di seberang saluran telepon.

"Aku tahu," kilah Rexon. "Kau hanya ingin melaporkan itu?" lanjut Rexon yang tahu Teus tidak akan menghubungi sekadar untuk mengoceh.

"Aku sudah menemukan informasi yang kau cari dan ada sebuah video yang harus kau lihat." Suara Teus terdengar serius dan berhati-hati.

Video? Apa mungkin dari sang pembunuh? batin Rexon.

"Baiklah aku akan segera ke sana." Rexon memutuskan sambungan.

Helaan napas panjang mengakhiri renungannya hari ini. Ia kira dengan ke tempat ini mungkin ia bisa bertemu dengan Alf. Satu-satunya partner yang diberitahukan tempat persembunyiannya ini.

"Aku masih tidak ingin percaya kau yang melakukan kejahatan itu apalagi sampai melukai Robert," gumam Rexon. Ia mendongak menatap langit kelam tanpa bulan dan bintang.

Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, tiba lah Rexon di rumah sakit. Teus mendongak saat pintu kamar Robert terbuka. Ia mendapati Rexon berdiri di ambang pintu dengan wajah berusaha tenang. Teus meminta Rexon duduk di sofa yang menjadi fasilitas kamar vip.

Find The SinnerWhere stories live. Discover now