1.| Dari Mata Turun Ke Hati

17 4 0
                                    

Kisah ini berlatar belakang kota Pontianak, Kalimantan Barat pada era 40-an.
Dibuat untuk mengabadikan sebuah era peralihan yang begitu ekstrim dari sudut pandang rakyat jelata.

Beberapa kejadian disandarkan pada fakta yang sudah diverifikasi oleh para pemegang bukti sejarah kota Pontianak.

Semoga apa yang dikisahkan di sini membawa manfaat walau cuma secercah.





Pontianak, 1941

Bis kayu itu menurunkanku di dermaga pasar Siantan. Hari masih pagi. Aku memang menumpang bis kayu antar kota dari Singkawang ke Pontianak ini dari subuh tadi. Perjalanan kurang lebih tiga jam melewati jalan aspal yang kurang mulus buatan Belanda.

Angin sungai meniup kerudung, membuatnya berkibar-kibar. Kutangkap dan kurapikan erat, rasa malu menyergap tatkala melintasi sederet pemuda yang duduk di warung tepi sungai.

Aku ingin menyeberang. Saat ini satu-satunya transportasi melintas sungai menuju Pontianak hanyalah dengan sampan. Aku telah terbiasa menaikinya sejak pertama dulu pindah ke sini, demi menuntut ilmu keguruan di sekolah Belanda yang gedungnya tepat di tepi sungai di seberang sana, di sebelah dermaga atau juga disebut kopol.

Sayangnya aku tak bisa berenang, jadi selalu agak takut bila naik sampan melintas sungai.

"Nak nyebrang ke, kak?", tanya seorang pemuda berkaus putih dan bercelana selutut. Sarungnya diselempangkan di dada dan ia memakai kopiah hitam.

"Iye, ade keh yang udah maok jalan?" tanyaku. Biasanya penumpang mesti menunggu sampan penuh dulu baru berangkat.

"Ade, sampan saye tu, yang warne hijau les merah, yang udah nak penoh tu, kalo kakak maok, kite langsong berangkat," katanya, senyumnya sumringah di wajah yang coklat terbakar matahari khatulistiwa yang garang.

"Ayoklah," sambutku..ia lalu membawakan tasku, membantuku menuruni undakan yang terjal dan melompat masuk ke sampan. Agak oleng sedikit, tapi segera mantap setelah semua duduk. Kami berangkat, sang pengayuh duduk di belakang bersenjatakan dayung, ia merengkuh arus.

Suasana Kapuas selalu ramai dan hiruk pikuk. Beberapa kapal besar tengah sandar, kapal kelotok hilir mudik ditengahi beberapa motor bandong yang juga melintas. Motor bandong adalah kapal ukuran sedang berbentuk rumah, biasanya mengangkut penumpang dari pedalaman Kalimantan Barat yang dilintasi oleh Sungai Kapuas. Tengah asyik memperhatikan pemandangan, aku abai pada kecemasan beberapa penumpang, hingga kudengar,"Bocor ! Sampan bocor !"

Allahuakbar ! Mengapa terjadi saat ini ? Di tengah sungai pula !

Aku merinding sejadi-jadinya..aku tak bisa berenang !

Si abang pengayuh sampan tampak pucat luar biasa, tapi ia berdiri dan melambaikan sarungnya di udara, mungkin memberi tanda meminta pertolongan. Air mulai menggenang. Aku ketakutan luar biasa. Tolong hamba ya Allah !

Itu ada sampan mendekat. Tapi perhitungan jarak dan lajunya air masuk sepertinya tak sebanding. Kudekap tasku erat. Penumpang yang lain pun sama cemasnya. Beberapa laki-laki berusaha menenangkan dengan bilang mereka bisa berenang.

Saat sampan penolong itu hampir tiba, sampan kami telah penuh air, memaksa semua penumpang terjun ke sungai. Aku menangis dan mencengkeram tangan bapak-bapak terdekat.

Bapak itu berusaha semampunya memegang aku. Tapi sulit, arus sungai begitu kuat. Akhirnya pegangannya melemah dan aku terlepas. Aku pasrah. Ya Allah, kuserahkan hidup dan matiku pada-Mu.
Mata ini perih terkena air, dan terasa kaki ini kram karena terlalu liar mengepak air.

Lalu kurasakan ada pelukan erat melingkari tubuhku. Menarikku dan aku pingsan.

Ketika siuman, aku ternyata dibaringkan di tepi dermaga yang beratap. Kepalaku di pangkuan seseorang. Hidungku mencium aroma minyak gosok yang kuat dan kubuka mata, seorang ibu menggosok-gosok pelipisku dan menyodorkan sebotol minyak gosok ke bawah hidungku.

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now