2.| Pelangi Sesudah Hujan

15 3 0
                                    


Pontianak, 1941

Hari-hari berikutnya berjalan damai dan tenteram. Kadang aku melirik ke dermaga saat pergi dan pulang sekolah. Tapi Hamid tak kulihat di sana. Rasanya rindu.
Tapi, sudahlah.

Hari ini Yuni, teman sebangkuku, mengajak pergi berbelanja rempah di pasar Parit Besar. Rempah untuk kakaknya betangas. Betangas adalah kegiatan mandi uap rempah dan daun-daun seperti serai wangi untuk para calon pengantin. Kakak Yuni akan menikah dua minggu lagi.

Kami sampai di pasar, menitipkan sepeda di warung kopi, lalu menelusuri lorong mencari toko rempah. Pasar yang lengkap, semua kebutuhan pokok ada di sini. Bahkan penjual mainan dan perkakas pun ada. Letaknya persis di tepi sungai Kapuas, sehingga orang-orang dari daerah juga datang berbelanja ke sini.

Toko rempah yang kami datangi dijaga oleh seorang bapak yang rambutnya sudah memutih, bersongkok hitam dan berkacamata. Tapi geraknya masih gesit dan pembawaannya ramah.
Yuni bicara dengan si penjual dan aku berdiri di dekat pintu masuk sambil memegang-megang untaian langir. Kuputuskan membeli satu untai untuk keramas dan sebungkus bedak dingin.

"Misi, kak..numpang lewat," terdengar suara lelaki. Rasanya kenal suara itu. Aku menoleh.

Ada Hamid di situ, ia pun sama terkejut denganku.

"Ani? Belanja?" tanyanya.

"Ngawankan Yuni." jawabku sambil menunjuk ke dalam.

"Aku masuk dulu ya..mau antar ini ke bapak.." Ujarnya sambil mengangkat rantang. Aku terkesima. Jadi penjual rempah ini ayahnya.

"Yuk ikut aku," Ajak Hamid sesaat kemudian.

"Tapi aku kan sama Yuni.."

"Udah kumintakan izin tadi. Dia bisa pulang sendiri.." terangnya.

"Yun?!" panggilku.

"Pergilah, aku pulang sendiri nanti..tak apa-apa," Jawab Yuni sambil tersenyum.

Hamid menarik tanganku dan mengajakku menembus keramaian pasar hingga berhenti di sebuah kedai. Ia mengajakku makan.

"Yuk kawankan aku makan..aku lapar..belum makan.." senyumnya cengengesan. Sesuatu yang belum pernah kulihat darinya. Selama ini yang kutangkap adalah kedewasaan, kehangatan, dan kekuatan. Yang berlaku bak anak kecil begini, tentu sebuah kejutan..Tapi menyenangkan...tiba-tiba akrab seperti ini..rasanya seperti melihat pelangi sesudah hujan.

Kami berdua memesan ikan tenggiri bakar. Makan tanpa bicara dan memulai percakapan seusainya.

"Aku senang bise kenal denganmu Ani, rupenye kau cukup ramah mau bergaul dengan aku, yang tukang sampan ini," Katanya.

"Kite bekawan dengan siape pun yang maok bekawan dengan kite. Banyak kawan, luas pandangan.." sambutku.

"Tukang sampan pekerjaan yang halal..banyak manfaat menolong orang bepergian.." tambahku.

Ia senyum lagi. Aduh, rasanya pipiku panas diberi senyum begitu.

"Kau tau, aku beberapa kali menunggu barangkali kau lewat dermaga, tapi tak bertemu..jadi, beruntung sekali aku bertemu kau hari ini," tukasnya.

Ternyata kita sama, batinku..tapi tak kusuarakan, malu.

"Menungguku untuk apa?" tanyaku.

"Yah, sekedar bercakap-cakap bertukar kabar.." Jawabnya. Lalu hening. Aku tak berani angkat bicara.

"Aku tak henti teringat padamu," katanya mengagetkan.

Tatapannya seolah menyihirku jadi batu..aku membeku.

Seorang pemuda mengakui ketertarikannya pada seorang gadis adalah sesuatu yang serius. Tak ada yang bermain-main di area ini.

"Ani, kau menyiksaku dengan rasa rindu.." tambahnya lagi.

Hii..aku tak berani menatapnya.

"Bicaralah Ani..jangan diam saja"..

" Ya, aku juga sama..ingin sekali berjumpa." kataku pelan hampir berbisik.

"Selalu mengingatmu setiap hari..cukup merepotkan karena aku juga harus belajar menghadapi ujian semester," Jawabku sedikit bergurau.

Dia tertawa.

Berhasil..momen ini sedikit cair.

"Jadi aku ingin bilang padamu sekarang, belum tau apa yang berlaku esok, " Hamid mengambil jeda sesaat,

"Aku memintamu menungguku untuk datang pada ayahmu..dan aku akan berusaha sedapatnya, secepatnya." Demikianlah sederet kata yang menancap telak di jantungku.

"Adindaku..coba kudengar jawabmu," Hamid meminta balasanku setelah beberapa saat keheningan melanda.

"Dengan segala kekurangan yang dinda miliki, mohon kakanda bersabar,..bila memang dindalah pilihan kanda, segeralah minta pada ayah, agar kita dapat bersama," jawabku perlahan.

Wajahnya cerah sekali..meraup tanganku tapi lalu segera melepaskan..sama-sama malu!

Pontianak, 25 Februari 2018
00.40
Hanya cinta yang bisa merajut sipu di wajah penuh kabut.

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now