4.| Sahabat

3 2 0
                                    


Pontianak, 1941

Sambil menyelesaikan soal Aljabar terakhir, aku berbisik pada Yuni, teman sebangkuku.."Yun, nanti istirahat aku mau cerita.."
Yuni memonyongkan bibirnya, lalu menukas," Pasti Hamid lagi..Hamid lagi...bosan!"

Aku terkekeh....kata bosan itu cuma di bibir saja...manakala kuceritakan kisahku dan Hamid, ia selalu saja ternganga dan terbuai...seperti mendengar sebuah buku dibacakan saja..

Yuni memang sahabat sejati..saat senang maupun sedih, dia selalu mendampingi..
Beruntungnya aku mendapat sahabat di perantauan ini...di Pontianak ini aku memang tak mempunyai sanak saudara...tinggal pun menumpang di rumah Bu Rahmah, almarhum suaminya kenalan ayah saat muda dulu..
itu pula salah satu sebab ayah mengizinkan aku menuntut ilmu di kota Khatulistiwa ini..

Balik ke Yuni, sambil membuka kotak bekalnya yang berisi kue cucur, Yuni sudah duduk manis di kursi taman sekolah kami..aku di sebelahnya..menggigit sepotong cucur gula putih...biasanya Yuni membawa cucur gula merah buatan ibunya, tapi kali ini yang gula putih...alasannya,"Mamak keabisan gule merah..jadi pakai gule putih...kan same enaknye.." Benar juga..sama enaknya..

"Jadi yang kemaren kau pulang sorang tu..kan aku diajak Hamid makan di rumah makan ikan bakar..." Kataku..

"Sedapnye...tenggiri keh bawal? atau telor ikan?" Potong Yuni sambil menerawang ke langit...lalu tertawa...ia sedang menggodaku..

"Sambal petai" Balasku....hahahaha...kami tertawa bersama..

"Hamid mengatakan die mau melamarku pada ayahku" ujarku..sambil memilin-milin lipatan kain batik yang kupakai...

Yuni terkesima..."Melamar? Kau serius Ani? Tak mau berteman saja dulu...melihat pemuda-pemuda yang lain dulu?"

Aku menggeleng.."Tak bisa melihat yang lain...setiap saat memikirkannya.."

Yuni mengangguk, "Memang sih, sejak kau kenal Hamid, wajahmu berseri terus..banyak senyum..pokoknye cerialah..cerite pun tak jaoh-jaoh..sikit-sikit Hamid..ape-ape Hamid..."

Aku tak menyahut...pura-pura sibuk menghabiskan kue cucur...eh, memang lezat kue buatan ibu Yuni nih...

"Kau cinte benar dengan Hamid ye...Di hatimu tertulis namenye keh? Tak ade yang lain?" tanya Yuni..

Aku menggeleng sambil tersenyum...

"Mabok kepayang si Ani...kena panah asmara si Hamid.." olok Yuni..

Aku mencemberutkan muka..Yuni tertawa..

"Hamid tampan juga sih...ada jenggotnya juga..." Yuni seolah membayangkan...

"Hush...punyaku.." kataku..

"Iye..iye...bukan seleraku juga...Meneer Edward lebih ganteng lahhh..hahaha..." Yuni tertawa terbahak-bahak...Ia pernah bilang, naksir Meneer Edward itu seperti pungguk merindukan bulan...sesuatu yang tak mungkin kesampaian...tapi bolehlah sebagai pelipur lara...hahahaha

"Kapan die maok melamar? Jangan lupa..kau ini masih sekolah...tahun terakhir pula..kau masih harus praktek mengajar di sekolah, baru bise lulus...masa mau kawin dulu? Kalau langsung hamil gimana? Repot kan ngurus anak sambil sekolah.." Panjang ceramahnya...

"Katanye sih secepatnye..iye juga...aku lupa masih harus praktek mengajar..." Sahutku galau..

"Hmmm....baru becinte dah lupa ini itu.." Omelnya...

Aku tersenyum...
Ya Allah, terima kasih Kau hadirkan orang-orang baik di sekelilingku...yang menyayangiku sepenuh hati...yang memperhatikanku..semoga Engkau rahmati kawanku ini ya Allah...

Pontianak, 22 April 2018
22.54

Bumi ini semakin menua
Begitu pula kau dan aku
Gurat-gurat usia telah menghampiri
Namun kau tetap seorang pemuda dan aku seorang gadis di dalam hati sanubari

Ombak senantiasa berpaut pada bibir pantai
Dan Nyiur senantiasa melambai pada senjakala
Sebagaimana cintaku senantiasa terikat padamu
Laksana hujan yang kembali jadi hujan

Atas kuasa sang Pencipta maka dua lautan bersisian tak berpadu
Atas kuasa sang Pencipta, Matahari dan Rembulan tak pernah berjumpa
Atas kuasa sang Pencipta, maka ada awal dan ada akhir
Sebaik-baik akhir adalah akhir yang baik...
Atas izin-Mu ya Allah..

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now