14.| Ikhlaslah

1 1 0
                                    


Pontianak,  Januari 1942

"Ani..tempemu hangus!" seru bu Rahmah. Aku terkesiap dari lamunan dan segera mengambil serok lalu mengangkat tempe. Memang gosong sedikit. Inilah akibat melamun saat menggoreng.

"Ape yang kau lamunkan tu..sampai lupak dengan gorengan.." Candanya. Aku tersenyum malu.
Aku memang tengah melamunkan Hamid. Tiada lain karena ia sedang pergi mengangkut barang-barangku untuk dipindahkan ke toko. Kami memang disuruh tinggal di lantai atas toko rempah milik bapak Hamid.

Beruntungnya aku, daerah tempat tinggal bu Rahmah luput dari serangan Jepang atau yg orang-orang menyebutnya Nippon.

Bu Rahmah masih menyimpan barang-barangku walau di hari pemboman oleh Nippon  itu aku pergi dan tak pulang ke rumahnya, dan  lalu aku malah pergi ke Singkawang. Aku cuma sempat mengiriminya telegram.  Dan kini aku datang lagi dengan Hamid sebagai suamiku.

"Anakku dah disunting orang.." Katanya dengan derai airmata saat aku tiba kemarin. Bu Rahmah memelukku. Ia memang bagaikan ibu sendiri. Walau aku hanyalah anak kost di rumahnya, tapi ia menganggapku seperti anak sendiri, yang bahkan tak ragu menegurku bila pulang kemalaman. Tak baik, kau itu anak dare. Begitu selalu nasihatnya.

Lepas dari keharuannya, Bu Rahmah lalu  memaksaku menginap barang semalam atau dua malam. Katanya, sambil menunggu Hamid memindahkan barang-barangku. Harta bendaku yang memang tak banyak juga. Yang paling berharga milikku yaitu sepeda telah hilang di hari pemboman itu. Tak apalah, ada rejeki nanti kubeli lagi.

Setelah kemarin-kemarin memadu kasih di kamarnya, maka semalam Hamid merasakan juga tidur di kamar kostku. Berdua berbagi tempat ranjang sempitku.

Kamar yang akan segera kutinggalkan. Menyisakan kenangan masa lajang, saat semua dilakukan sendiri, berjuang menuntut ilmu sambil memegang amanah orangtuaku.

" Sekolahlah  battol-battol, lakkak iye  balik ke sittok, jadilah guru yang baik. ( Belajarlah sungguh-sungguh, setelah itu pulanglah ke sini. Jadilah guru yang baik. )"

Allah, manusia memang bisa berkehendak, hanya Engkaulah penentunya. Tak ada yang menyangka alur kehidupan berubah drastis seperti hari-hari belakangan ini.

"Menjadi istri tidak gampang. Jalanilah dengan ikhlas. Insyaallah pertolongan Allah selalu ada. Hormati suamimu. Bahagiakan selalu. Jagalah marwahnya." Demikian petuah bu Rahmah.

Kutatap matanya. Tatapannya begitu dalam. Janda beranak lima ini, begitu gesit dalam keseharian. Begitu tunduk pada almarhum suaminya. Begitu setia pada apa-apa yang dipesankan oleh suaminya. Begitu disayang oleh semua anaknya yang kini telah berumahtangga pula semuanya.

"Makasih bu..semoga Ani dapat menjalani semua dengan ikhlas.." Kupeluk ia. Sekejap saja lalu ia melepaskan dan menyusut airmata yang menetes di pipinya. Kami tertawa juga menangis.

Lepas Zuhur Hamid kembali. Rupanya Ia tadi sholat di masjid pertigaan gertak satu. Ramai pengayuh sampan sholat di sana juga katanya.

Kusambut tangannya utk kucium.

"Ajaklah Hamid makan siang.." Perintah bu Rahmah. Lalu ia berlalu ke dalam kamarnya.

"Kau masak apa adindaku sayang?" Tanya Hamid saat mengikuti aku berjalan ke meja makan.

"Tempe hangus.." Aku terkikik geli. Hamid tergelak.

"Wah, penganten baru masaknya sampai hangus.." Sahutnya.

Kulayani ia sepenuh hati. Kuambilkan piring, kusendokkan nasi, lalu ku serahkan piring padanya agar ia memilih sendiri lauk yang diinginkannya. Kutuang air putih ke gelas dan kuletakkan di samping piringnya, baru aku mengambil piringku sendiri. Hamid tersenyum saja sambil sesekali melirikku.
Aku tak berani membalasnya. Sudah kutebak sepertinya sehabis makan ini, ia akan mengunciku lagi di kamar.

Ah, asalkan bersamamu, terkunci di manapun tak menjadi soal.

Pontianak, 21 Maret 2018
23.33
Hari tanpa bayangan yang diguyur hujan..
Manusia berkehendak, Allah penentunya..

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now