9.| Aku Sayap Cintamu

3 1 2
                                    

Kisah Nak Dare dan Pengayuh Sampan--Aku Sayap Cintamu-part 1
*******************************
Pontianak 1941

"Kau masih ingat tidak Ani, gerakan tari Jepin waktu kita kunjungan ke keraton Kadariah?" Tanya Siti saat kami sedang sibuk menyusun rancangan pelajaran di kelas.

"Sepertinya masih..kenapa kau tanyakan?"

"Rasanya pingin mempelajarinya lebih serius..kau beruntung Ani, karena ibu itu memilihmu untuk dijadikan contoh.." Sahut Siti.

Kenangan berputar pada semester lalu saat sekolah kami yang notabene milik Belanda ini mengadakan kunjungan budaya ke keraton Pontianak yang lebih dikenal sebagai keraton Kadariah yang dibangun oleh Sultan Syarif Abdurrahman pada tahun 1771.

Kami berjumpa kerabat keraton dan Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Beliau benar-benar pemimpin yang kharismatik. Kami dijamu makan seprahan yang nikmat juga disuguhi tarian Jepin yang lincah diiringi musik Melayu yang dimainkan langsung oleh para musikus tradisional itu.

Seperti kata Siti, aku memang beruntung, dipilih langsung oleh ibu pelatih tari Jepin itu untuk mempraktekkan gerakan dasarnya, walau masih kaku dan banyak salahnya, itu sungguh pengalaman yang mengesankan buatku. Musiknya bahkan bisa kurasakan mengalun kembali dalam khayalku.

Angin sungai Kapuas yang bertiup ke dalam kelas melalui jendela-jendela besar berjeruji besi itu menyadarkanku dari lamunan. Sebetulnya ada hal lain yg juga mengganggu pikiranku saat ini. Sudah dua hari aku tak berjumpa Hamid saat istirahat makan siang. Biasanya kami duduk berdua di bawah atap dermaga, menyantap bekal yang kami bawa, belakangan kami suka bertukar bekal-Hamid makan bekalku dan aku makan bekalnya-rasanya lebih akrab begitu.

Hamid seolah hilang ditelan bumi. Hendak bertanya pada pengayuh sampan yang lain aku enggan. Ada sedikit rasa malu bertanya tentang Hamid pada mereka, tapi sepertinya hati ini mendesak keberanian untuk muncul, lalu bertanya pada mereka.

"Bang, ade lihat Hamid, ndak?" Tanyaku pada seorang pemuda bertubuh jangkung dengan alis tebal. Ia tersenyum dikulum sebelum menjawab pertanyaanku.

"Hamid sakit. Luka-luka die akibat kelahi lawan maling di kampungnye pas subuh-subuh..itu tige hari yg lalu lah.." Demikian penjelasannya yang membuatku terpana.

"Abang bise antar saye ke rumahnye ndak?" Tanyaku.

"Saye bise sebrangkan kakak, tapi saye tak bise antar. Saye maseh nambang sampan ni.."

"Memangnye rumahnye di mane bang?" Tanyaku. Ah, parah aku ini, sekian lama tak pernah bertanya alamat.

"Kampong Dalam. Tanya jak rumah pak Hanafi. Tau be orang-orang. Ayoklah kak," Ajaknya.

Aku menumpang sampannya menyeberang sungai Kapuas dan turun di dermaga pasar dekat keraton, arah kiri ada masjid Jami yang menawan hati.

Si abang tak mau dibayar. Katanya karena aku kawan Hamid, jadi aku kawannya juga, namanya Aziz.

Setelah bertanya pada seorang bapak-bapak, aku mendapat petunjuk arah dan segera menemukan rumahnya. Sebuah rumah panggung khas rumah Melayu. Berbahan kayu dicat pernis coklat. Apik terhias pot-pot bunga mawar dan melati di berandanya. Di dekat jalan masuk ada pohon kemuning.

Aku mengucap salam, pintu dibuka dari dalam dan aku terkejut, Hamid memar dan berbalut perban di lengannya.

"Dinda.." Bisiknya lirih tanpa menyembunyikan rasa rindu.

Kami duduk di beranda dan bertukar cerita sampai ibunya muncul membawa nampan berisi secangkir teh untukku. Alamak, kebetulan apa lagi ini! Ternyata, ibu Hamid adalah pelatih tari Jepin saat di keraton dulu. Aku masih mengingatnya tapi ia lupa.

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now