10.| Bukan Digantung Tak Bertali

2 1 2
                                    

Part 1
******

Pontianak, November 1941

Malam ini Hamid datang mengunjungi aku di rumah kosku. Bu Rahmah yang membukakan pintu dan menerima secetak kue bingke berendam yang dibawa Hamid.

Pandai sekali ia mengambil hati orang tua. Aku tersenyum. Kami dibiarkan duduk berdua di teras.  Langit cerah bertatahkan bintang. Tak ada bulan, tapi suasananya menyenangkan.

Apakah karena ia ada di sini? Duduk di sebelahku?

"Ingin sekali tinggal dan tidak jadi ke Singapura. Atau kau ikut saja?" Tanya Hamid. Sungguh suatu tawaran konyol. Aku terkikik geli.

"Lalu yg sekolah menggantikan aku siapa? Bu Rahmah? Atau Aziz?.." Tawa kami berderai bersamaan.

" Aku juga tak lama pergi. Sekedar mencari peluang di sana. Kantor dagang negara-negara Eropa banyak buka di Singapura. Tapi aku benar-benar mengincar perdagangan kain." Ujar Hamid.

"Kanda mau buka toko kain?" tanyaku.

"Iya, kan tidak mungkin selamanya mengayuh sampan. Diri ini tentu menua, dan akan banyak keterbatasan.."

"Tapi ayahmu kan memiliki toko rempah. Tak dilanjutkan?" Tanyaku lagi.

"Bapak memang sudah seharusnya istirahat, tapi pribadi beliau memang suka bekerja..mungkin inilah hiburan agar tetap ada yang dikerjakan setiap harinya..agar tetap sehat."

"Toko rempah itu bisa aku lanjutkan. Tapi aku rasa adikku si Ros yang lebih handal mengurusnya.. Aku akan memulai toko kainku sendiri. Insyaallah ada kemudahan.."

Aku manggut-manggut. Lelaki yang sudah merencanakan masa depannya. Jangan-jangan ia sudah berencana ingin punya anak berapa. Pikiran iseng muncul. Coba kutanyakan.

"Kanda, nanti ingin punya anak berapa?"

Ia menoleh..heran dengan pertanyaanku. Tapi begitu ia mendapati senyum tersungging di bibirku, ia tergelak.

"Sepuluh!" serunya. Tawa kami berderai lagi.

"Soal anak berapa, itu bukan kuasaku. Itu ketentuan Allah. Kita cuma manusia ciptaan-Nya. Diberi berapapun, kita usahakan sehat, pintar, sholeh dan sholehah," begitu katanya.

Ngeri juga dapat sepuluh anak. Kalaupun rezeki kami mendapat sepuluh anak, aku setuju kata-katanya barusan.

"Dinda sayang, kau jangan sering-sering bicara dengan pak guru Belandamu itu ya.." Hamid mengeluarkan maklumat larangan pertama.

Pak guru Belanda itu bernama Eddie. Ia mengajar seni lukis di sekolah kami yang semua murid dan  gurunya wanita. Ia satu-satunya pria. Ia berusia sekitar 25 tahun. Ia tinggal di komplek perumahan orang-orang kaya Belanda di dekat Tanah Seribu. Orangnya ramah dan berpenampilan menarik.

Sering ia bercakap-cakap denganku dalam bahasa Belanda. Aku senang sekali bisa praktek percakapan begitu. Rupanya Hamid memperhatikan cerita-ceritaku tentang Eddie.

Larangan..apakah artinya Hamid cemburu ?

"Aku ingin segera melamarmu, jadi kau jangan berdekatan dengannya ya.  Jangan sampai ternyata ia suka padamu, Dinda." katanya.

Aku tersenyum simpul.

"Iya..aku usahakan."

"Ingin sekali aku menyentuhmu, tapi, belum boleh" ujar Hamid.

"Ya tidak boleh" sahutku. Aku tersenyum lagi. Padahal jantung ini berdegup seperti rebana yang ditepuk.

"Kanda, guruku bilang, setiap sentuhan laki-laki dan perempuan yang berpaut hati, itu tidak pernah memuaskan. Selalu akan meminta lebih. Lebih baik menikah, akan terpuaskan satu sama lain.."  Jelasku.

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now