8.| Lalu Bagaimana Kalau Aku Rindu?

1 1 0
                                    

Pontianak, 1941

"Hai..", sapa menyertai senyum saat langkah kakinya menaiki undakan teratas di tepi dermaga.

Sampannya telah tertambat. Terayun-ayun oleh ombak kecil sungai Kapuas. Wajahnya yang tampan, bersih, walau bertitik berapa keringat, tampak ceria.

Siang itu selepas Zuhur, seperti telah berjanji untuk selalu bertemu, dan menghabiskan bekal bersama di tepi dermaga yang teduh beratap.

" Dah sholat?" Begitu ia bertanya saat kami duduk.

"Hari ini tidak..halangan." jawabku agak malu. Kemudian jari-jemariku terampil membuka simpul kain yg membungkus rantang milikku dan miliknya. Aku tersenyum melihat lauknya lalu mulai iseng menukar lauk milikku dengan lauknya. Hamid hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Kami menyantap bekal dalam diam. Hanya desau angin dan debur arus sungai serta bising lalu lintas kapal. Siang malam tak membatasi arus lalu lintas barang dan jasa di sungai Kapuas ini, sejak hulu di Kapuas Hulu sana hingga hilir di kota Pontianak ini.

"Aku hendak berlayar minggu depan. Ikut kapal barang niaga ke Singapur. Temasek." Katanya  setelah selesai makan.

Suapku terhenti. Mendadak seperti tertombak hati ini. Ngeri akan hari-hari sepi yangg segera menghantam.

"Lama kah?" Hanya itu yang mampu kusuarakan, walau tercekat.

Ia menoleh, sadar akan perubahan suaraku. Aku tertunduk.

"Mungkin 90 hari. Sampanku nanti dibawa tetanggaku." Ia pun menunduk.

Mengetuk-ngetukkan jari pada tepi dinding di hadapannya. Aku tahu ia gusar dan gugup.
Lama aku tak bersuara. Ia pun diam saja. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

"Dinda...aku tak lama.." Akhirnya ia bersuara juga.

"Dinda tahu.." sahutku.

"Tegarlah dan bersabarlah...walau kita sementara tak dapat berbagi keluh kesah tentang hidup dan pekerjaan...kita tetap bersama dan saling mengingat dalam hati.." Suaranya parau.

Kuraih tangannya, kugenggam, sementara tangan kiriku menyusut airmataku.

"Lalu bagaimana kalau aku rindu?" bisikku.

Ia menghela napas.
"Sabarlah.."

****

Setting kira-kira tahun 1940-an, di dermaga dekat gedung sekolah (sekarang BNI 46) tepian sungai Kapuas, Pontianak.
Terinspirasi dari kisah nenekku Hj. Aniah yg pernah bersekolah di situ.

Pontianak, 7 Oktober 2017
Kala Nak Dareku belum juga tidur.

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now